Selasa, Juni 30, 2009

Kuasa Maut


Maut dimanakah dia berada? Di pucak gunung ataukah di dasar lembah? Di luas samudra ataukah di tetesan air mata? Maut, mengapa dia ada? Mengapa dia menyengat dan meninggalkan luka perpisahan? Mengapa dia membuat manusia tak abadi?

Setiap malam aku menghitung hari demi hari, masa demi masa. Aku berjaga dalam waspada, jangan-jangan dia datang malam ini tanpa memberi warta. Resah, gelisa, takut dan gentar itulah yang dirasakan setiap mengingatnya.

Maut, siapakah yang mengaturnya hingga berkali-kali aku dikejutkan oleh sengatnya terhadap orang-orang yang kukenal? Sungguh jiwa manusia begitu lekat dengan kematiannya, mati dan hidup bagaikan sisi uang logam bersebelahan. Begitu mudahnya manusia mati jika maut telah memilihnya.

Sungguh, kematian adalah jembatan menuju dunia baka. Mati berarti menutup mata di dunia ini dan kembali membuka mata di dunia orang mati. Dunia di mana segala keadilan ditegakkan, dunia di mana segala perbuatan dipertanggungjawabkan, dunia di mana segala penyesalan menjadi terlambat sudah.

Maut, bukan milik para renta. Ia juga milik para cilik, muda dan dewasa. Milikku dan milikmu juga. Maut berhak menentukan siapa pun yang ingin dijemputnya. Sehat atau sakit, baik atau jahat, kaya atau miskin.

Siapkah aku kalau tiba-tiba maut datang dan membawa pemisah antara aku dengan semua orang yang aku kasihi di dunia orang hidup ini? Siapkah aku? Semoga saat kuasa maut datang, aku adalah orang yang takwa.

Kamis, Juni 25, 2009

Editor Stress Vs Opa Antik Part 2



Duh maaf deh kawan-kawan kalau aku harus tulis soal si Opa Antik lagi hari ini. Secara tujuan aku bikin blog kan juga buat dijadiin tempat curhat. Pasalnya gini, ternyata si Opa itu juga punya masalah antik lain, yaitu sulit menentukan yang mana kanan dan yang mana kiri.

Neh, aku ceritain dari A-Z. Si Opa bilang kalau dia mau kasih Bab 4. Meski aku lagi sibuk berat tapi Opa maksa hari ini naskahnya dah harus sampai ke tanganku. Opa emang bener-bener batu deh. Pokoknya aku jadi nggak bisa berargumen apa-apa selain jalan ke parkiran dan langsung ngebut naik motor. Nah masalahnya naskah ini, diambil bukan di rumah si Opa yang biasa aku kunjungi. Berhubung Opa lagi ada di rumah anak lelakinya, jadi tuh naskah harus diambil di rumah anaknya. Emang lokasinya nggak jauh dari kantor. Tapi karena aku sama sekali belum pernah ke tempat itu, urusannya jadi ngejelimet.

Aku jalan cuma berbekal HP. Si Opa jadi navigatornya. Nah masalahnya di mulai dari percakapan aku dengan Opa di telepon.
"Opa, saya udah di lampu merah, di bawah jembatan itu loh. Belok ke mana ya?"
"Oh ambil ke arah Barat."
"Duh Opa, kiri atau kanan? Saya mana tahu barat itu ada di mana?"
"Barat itu ya, seberangnya timur."
"Iya kiri apa kanan?"
"Duh apa ya?"
"Masa Opa nggak tahu kiri apa kanan? Tangan yang buat makan itu kanan loh Opa? jadi yang mana neh, cepetan dah mau lampu hijau."
"Iya, kanan dong!"
"Ok"

Aku belok kanan. Nggak lama aku telepon Opa lagi.
"Opa ini dah di depan Hero, kemana dong?"
"Loh kok bisa nyasar ke Hero? Nona belok kanan ya?"
"Loh kan tadi Opa bilang suruh belok kanan."
"Opa kan bilang ke arah barat."
"Nggak! Opa bilang kanan tadi, itu loh yang pas saya bilang tangan buat makan."
"Lah emang benerkan kanan? Maksudnya tangan buat makan itu kanan, bukan berarti nona belok kanan. Belok barat tadi. Kiri berarti non."
"Jadi maksudnya. ini saya nyasar gitu Opa?"
"Muter balik aja non."

Busyeeeeet deh, ini jalanan macet sumpah, suer, beneran. Tapi terpaksa aku muter balik. Kembali ke tempat tadi, ambil ke arah barat seperti yang si Opa maksud. Nggak lama aku telepon Opa lagi.
"Opa ini dah di depan bank Mandiri, belok mana dong?
"Ke utara deh nona."
"Duh Opa jangan pake utara, selatan, barat, timur deh. Saya nggak ngerti. Kiri apa kanan?"
"Kanan."
"Beneran neh ya?"
"Eh, kiri deh."
"Yang bener kanan apa kiri?"
"Iya itu..."
"Kiri ya berarti?"
"Kanan dunk nona."
Argggggghhhh!

Setelah aku belok kanan. Si Opa telepon.
"Nona di jalan apa sekarang?"
"Waduh nggak tahu deh, yang jelas ada Holland Bakery Opa."
"Wah berarti Opa salah. Arah kanan tuh kalau dari sini, kalau dari sana berarti kiri. Iya, berarti tadi belok kiri mestinya." Ampun deh, ada tempat buat harakiri di Jakarta tercinta ini nggak seh??? "Muter balik deh Non."
"Duh Opa ini jalanan satu arah. Nggak bisa muter balik. Ntar deh kalau ada puteran saya langsung muter."

Tapi, udah lama banget lewatin jalan itu, belum juga ada tempat buat muter balik. Akhirnya aku putuskan untuk masuk ke jalan-jalan kecil, siapa tahu ada jalan buat balik ke tempat tadi. Tapi boro-boro nemu jalan, yang ada aku malah nyasar total. Kalau telepon Opa nanya jalan yang bener malah bakal makin ribet. Mau nggak mau aku nyari jalan keluar sendiri. Setelah belok kanan kiri, lama-lama aku jadi ngerasa dejavu. Perasaan dah pernah lewat jalan ini, tapi di mana ya? kapan?. Dan... Astaga! ini kan jalanan tikus menuju kantorku, berarti 1 km lagi aku balik lagi ke kantor.

Cape deh!!! Akhirnya aku putuskan untuk balik ke kantor aja dan nggak jadi ke rumah anaknya Opa. Besok aja deh ke rumah Opa-nya langsung. Biar lebih jauh, tapi nggak ribet dan nggak bikin pulsa habis. Nggak lama si Opa telepon...
"Sekarang udah sampai di mana Non?"
"Lagi makan cendol."
"Makan cendol? Makan cendol di mana?"
"Di depan kantor saya."
“????”

Selasa, Juni 23, 2009

Editor Stress Vs Opa Antik


Belakangan aku disibukan oleh seorang opa-opa berusia 70 tahunan yang kepengen banget menulis sebuah buku. Waktu mendapat tawaran untuk menjadi editornya, jujur aku seh udah curiga. Apa lagi setelah denger banyak editornya yang sudah nyerah. Tapi, aku cuma berkeinginan membantu opa. Umur Opa sudah tua, dan dalam usianya yang tua ini, aku ingin Opa bisa menghasilkan sebuah karya yang membuatnya bangga.

Temen-temen sekantor langsung pada nyalamin aku. Terutama si Tommy yang kebetulan emang pernah jadi editornya. Melihat sambutan temen-temen kantor yang rada lebay, aku jadi tambah curiga. Firasat buruk neh kayaknya!!!. Eh beneran, pas udah mulai ngedit bukunya. Busyeeet deh!!! Si Opa ini orangnya antik banget. Bayangin naskah yang aku terima bukan dalam bentuk softcover yang udah diketik rapi melainkan berlembar kertas tulisan asli tangan si Opa. Kebayangkan kalau aku harus ngetik ulang berhalaman-halaman baru mengedit.

Nah yang lebih bikin aku setengah mati buat ngeditnya adalah si Opa nyerahin naskahnya bab per bab. Kata si Opa rencananya buku itu akan dibuat menjadi 15 bab. Yaelah, baru rencana bo… jadi seisi buku itu masih ada di otaknya si Opa. Si Opa baru nulis bab 2 kalau bab 1 dah selesai diedit. Sumpah ini mah kayak bikin skripsi. Mana bisa ngedit buku bab per bab. Selain itu gaya bahasanya Opa itu loh pake bahasa jaman Ki Benen. Bayangin aja mau nulis kalimat “perlu diperhatikan” doang, ampe ngejelimet menjadi “patut menjadi hal periksa dengan seksama.”

Antiknya lagi si Opa ogah ngasih naskah melalui fax, email atau dititip ke siapa gitu buat dikasih ke aku. Si Opa pengennya aku datang ke rumahnya. Jadi prosesnya gini, aku ambil naskah bab 1 di rumah Opa, kemudian aku edit di kantor. Setelah selesai diedit aku pergi lagi ke rumah Opa untuk serahin hasil editan, aku balik ke kantor sementara Opa meriksa hasil editanku. Besoknya aku ke rumah Opa lagi buat ambil hasil editanku yang udah diperiksa Opa, aku balik ke kantor dan rapiin lagi hasil periksaan Opa. Setelah selesai aku serahin lagi ke rumah Opa. Nah itu proses pembuatan bab 1. Seminggu kemudian aku balik lagi ke rumah Opa buat ambil bab 2 dan ngulang proses ini berkali-kali. Cape banget kan??? Dan aku kasih tahu ya, jarak kantorku ke rumah Opa itu 30 km, menghabiskan waktu 1,5 jam sekali jalan, belum lagi, aku harus dengerin Opa bercerita ngolor ngidul. Bener-bener buang waktu.

Salah seorang sahabat lesbianku, menyarankan agar aku membuat sebuah sistem kerja yang akan memudahkan aku dan Opa secara selama ini kerjaanku jadi ngejelimet. Selain editor berarti aku juga typer, kurir sekaligus konselor kalau si Opa curhat tentang anak-anaknya. Hikh hikh hikh. Nah, pas aku sampein sistem ini, si Opa ngangguk-ngangguk. Tapi dasar si Opa batu, sistem kerja yang sudah aku presentasikan hampir 1 jam ditolaknya mentah-mentah dengan bahasa yang lemah lembut. “Opa pikir sistem kita selama ini sudah bagus kok non.” Bagus dari Hongkong!

Akhirnya, aku mutusin buat nyerah. Nggak kuat deh! Meski beberapa waktu lalu aku sudah sumpah buat semangat bantu Opa ampe titik darah penghabisan, tapi kalau begini terus darahku habis sebelum waktunya. Nah aku dah niat banget buat ngundurin diri. Aku mencoba bicara dengan Opa melalui telepon, soalnya kalau ketemu langsung pasti aku nggak tega bilangnya. Eh pas aku telepon tahu-tahu anak perempuan Opa yang ngangkat dan bilang, “Deni ya? Iya nih Opa masuk rumah sakit. Dah dari kemarin dirawat. Darah tingginya naik.”

Aku jadi rada sedih juga. Jadi, ajang buat ngundurin diri diganti dengan jenguk Opa di rumah sakit. Sepanjang perjalanan melewati koridor rumah sakit, aku membayangkan Opa tergolek lemas. Tapi.... pas aku di depan kamarnya, aku malah denger suara Opa cekikikan sama teman sebayanya. Ngeliat aku, si Opa langsung semangat. “Loh non tahu dari mana Opa sakit? Wah jangan-jangan nona dah nggak sabar ambil naskah bab 4 ya? Kan Opa dah bilang naskahnya minggu depan.” Busyet dah si Opa ge-er-an amat!

“Saya..” Belum selesai aku ngomong si Opa langsung nepuk pundak temennya, “Ini editor gua. Cuma dia nih yang paling ngerti sistem kerja gua. Yang lain mah payah.”

Hah? Sumpe lo Opa? Jujur aku dah nggak kuaaaaaaaat!!!!

Si Opa nyambung lagi “Lo ingat kan? Dah 20 editor gua yang pada ngundurin diri, padahal baru di bab 1. Nona ini udah ampe bab 3, ini mau ke bab 4.”

Hah? Itu beneran ya Opa? Nggak salah denger 20 editor mundur? Yaeyaaaaaalah secara…. Ampun deh, aku dah pengen banget segera bilang ke Opa kalau aku mau ngundurin diri. Toh kondisi kesehatan Opa juga udah membaik, lagian di situ juga ada temennya yang bisa menghibur Opa, kalau Opa sedih karena pengunduran diriku. Oke… aku bakal bilang sekarang “Opa, sebenernya saya…” lagi-lagi belum selesai aku ngomong si Opa nyelak.

“Non makasih ya udah mau bantu Opa. Opa Cuma mau meninggalkan sesuatu yang berharga buat generasi di bawah Opa. Ya, umur Opa dah nggak panjang. Tapi semoga buku itu bisa bermanfaat. Opa nggak akan pernah lupain kebaikan nona.” Tiba-tiba hatiku meleleh. Segala kekesalan berubah menjadi keharuan. Segala ketidakkuatan berubah menjadi tenaga. Ya, aku akan coba wujudkan apa yang Opa rindukan. Aku ingin menjadi bagian dari kebahagiaan Opa. Aku tahu Opa tidak punya banyak waktu. Namun di waktu yang mungkin singkat ini aku ingin Opa dapat memberi yang terbaik.

Saat aku ingin berpamitan, si Opa mengantarku dengan sebuah pertanyaan.

“Nona dah punya pacar belum?”
“Belum... Loh? kenapa Opa?”
“Bagus dunk! Opa mau kenalin nona sama cucu Opa.” Si Opa cekakak cekikik bareng temannya
“Heh? Permisi Opa!” Aku beranjak dari kamar rawat inap itu. Si opa manggil-manggil dengan suara kencang banget “Eh Non, Opa serius loh! Nanti Opa sampein salam Nona ke cucu Opa ya?”

Aduh ampun deh si Opa!!! Kita duel aja gimana? Pasti rame tuh, judulnya "Editor Stress Vs Opa Antik"

Senin, Juni 22, 2009

Thanks...


Sudah pukul 12 malam, saat aku sampai di rumah. Agar tak membangunkan siapa pun, dari jauh aku sudah mematikan mesin motor yang kudorong perlahan hingga masuk ke dalam rumah. Kekasihku tertidur di ruang tamu dengan beberapa ekor nyamuk yang sedang menghisapi tubuhnya. TV masih menyala. Beberapa lembar kertas berserakan disekitarnya. Kekasihku merengkuk kedinginan. Dia menunggu aku pulang hingga larut malam.

Enggan aku membangunkannya. Kupahami, dia pasti lelah. Namun aku pun tak bisa membiarkannya tertidur di ruang tamu yang hanya beralaskan selembar karpet. Aku ingin kekasihku beristirahat di kamar yang hangat, di atas kasur empuk, tanpa nyamuk. Kuciumi keningnya agar ia bangun. Sesaat kemudian kekasihku membuka matanya, ia segera tersenyum dan memeluk kepalaku. "Kamu lama banget say."

"Rapatnya lama. Dari tadi rasanya udah pengen kabur. Lain kali nggak usah tunggu aku pulang. Yuk pindah ke kamar."

Kekasihku berusaha melebarkan matanya. Ia menarik tanganku untuk membantunya berdiri. Langkahnya masih limbung saat ia berusaha berjalan sekuat tenaga masuk ke kamar kemudian keluar lagi dengan membawa selembar handuk. "Cucian gih." Ia menggiring tubuhku ke kamar mandi.

Sekeluarnya aku dari sana, makanan telah tersedia. Rupanya selama aku bergelut dengan air dan sabun, kekasihku mengambil sepanci sop jagung dan menghangatkannya, menggoreng beberapa potong ayam dan meracik segelas teh manis. Aku memeluk tubuhnya erat, "Mestinya kamu nggak usah repot. I can do it all by myself."

Kekasihku tersenyum, "Aku tahu selama rapat, kamu pasti mikirin sop jagung dan ayam goreng kan? Aku yang paling kenal kamu say."

Aku bersantap dengan lahap. Entah mengapa makanan malam ini terasa begitu lezat, sangat lezat.

"Dah kenyang? Kalau udah, langsung ke kamar yha. Ganti baju." Mel membawa semua piring kotor ke dapur. Di kamar, baju tidur berwarna kuning milikku telah tersedia di atas ranjang. Baju itu begitu harum, seharum cinta yang dipersembahkan kekasihku.
Malam telah begitu larut saat kami berdua duduk di atas kasur empuk. Mel menyandarkan kepalanya ke bahuku. Aku mengambil gitar, memetiknya dan menyanyikan sebuah lagu yang setiap liriknya berasal dari hatiku.

Terima kasih
By: Jambrud

Lelah menghitung hari
Entah berapa lama kita berbagi rasa
Dan bukan hanya dalam mimpi
Kau tetap tersenyum dengan sejuta kasih

Hati ingin mengucap pasti...
Terima kasihku untuk semua waktumu
Yang kau berikan sepenuhnya untukku
Ku jadi tersanjung bila ada didekatmu

Terima kasihku untuk kasih sayangmu
Yang kau tanamkan seutuhnya padaku
Dan pasti kujaga semua ketulusanmu Terima kasih

Hari yang kita bagi
Kadang ada kesal benci dan caci maki
Tapi kau tak pernah tergoda
Jadikan alasan dendam di hati

Kasih dengarkan aku
Nyanyikan janji suara hati ini
Genggam smua kataku simpan di hati

Kasih walaupun aku
Di alam mimpi, di alam sadarku Masuk ke segalaku
Dan stiap isi tubuh ini

Hati ingin mengucap pasti
Trima kasih ku untuk semua waktumu
Yang kau berikan sepenuhnya untukku

Trima kasih ku untuk semua waktumu
Yang kau berikan sepenuhnya untukku
Ku jadi tersanjung bila ada didekatmu

Terima kasihku untuk kasih sayangmu
Yang kau tanamkan seutuhnya padaku
Dan pasti ku jaga semua ketulusanmu

Trima kasih


Thanks beib, kamu adalah yag terbaik yang aku miliki. Terima kasih untuk caramu mencintaiku. Kau selalu menyentuh hatiku

Jumat, Juni 19, 2009

Pasaran!!!


Senin, Jam 12 siang, di kedai bakso.
Mel : Duh Hon, kamu keringatan banget tuh. Buka jaketnya napa?
DeNi : Nggak ah!
Mel : Kamu gak gerah yha???
DeNi : Nggak (sambil mengelap keringat yang bercucuran dan ngunya bakso)
Mel : Sejak kapan seh kamu jadi tukang ngibul???
DeNi : Yee, Hak orang dunk mau buka jaket pa nggak
Mel : Buka ah hon, aku gerah liatnya
DeNi : Loh kok jadi kamu yang gerah. Aku aja nyantai
Mel : kamu juga kegerahan kan?
DeNi : Nggak
Mel : Itu keringat kamu
DeNi : Biarin, aku mau sekalian mandi uap
Mel : Geblek!!! Buka ah
DeNi : Nggak
Mel : Buka!!! aku gerah liatnya
DeNi : Nggak!!!
Mel : Buka!!! (Sembari menarik sereting jaketku)
DeNi : Kamu tuh (sembari menutup kembali jaketnya)
Mel : Huahahahahahahaha. (Cekikikan abis, ampe gebrak-gebrak meja). Aku tahu kenapa kamu nggak mau buka jaket
DeNi : Heh?
Mel : Itu karena baju kamu sama persis ma baju orang yang di depan kita kan.
(aku nunduk, muka merah, mata hijau)
Mel : Makanya kalau beli baju jangan yang pasaran begitu.

***

Selasa, Jam 7 malam. Di parkiran mall
Mel : Cepetan say aku kebelet pipis (sambil narik tanganku)
DeNi : Kenapa nggak pipis di mall aja seh???
Mel : Nggak bisa keluar kalau di Mall. Cepatan dunk hon!!!
DeNi : Nggak keluar di mall, tapi bisa jadi keluar di parkiran
Mel : Cepetan ah!!! (kembali menarik tanganku)
DeNi : Sabar napa Bu???
Mel : Cepetan!!!
DeNi : Sabar!!!
Mel : Cepet!!!! (sewot)
DeNi : Iya iya iya
(Tiba-tiba langkah Mel berhenti)
Mel : Eh tapi ntar aja deh hon. Santai aja
DeNi : Loh??? (bingung mode on sambil celingak celinguk)
Mel : Ngapain seh celingak celinguk? udah di sini aja. Kan ada kekasihmu yang cantik di sini (sambil megang kepalaku erat-erat)
DeNi : Ada apa seh??? (celingak celinguk tambah semangat. Sampai aku menemukan sesuatu langsung bingung mode off, diganti cekikikan)
DeNi : Huhahahahahaha. Aku tahu kenapa kamu nggak mau pulang cepet-cepet
Mel : Hah?
DeNi : Motif dan warna baju kamu sama persis sama baju yang dipakai supir angkot yang lagi ngetem itu kan??? Huahahaha (sambil nunjuk semangat) Makanya beli baju jangan yang pasaran begitu.

****
Cape juga ngikutin mode yang sedang in. Jadi bajunya banyak yang nyamain. Korban mode!!! Jadi pasaran.

Senin, Juni 15, 2009

Akhirnya... Waras Juga!!!


Dah bosen bedrest, dah bosen sakit, dah bosen minum obat dan bosen makan bubur. Dah bosen dimanjain. Sejak aku sakit mami dan Mel jadi bawel dan cerewet wet wet wet. Si Mel yang emang mau nggak mau mesti kerja meskipun kekasih tercintanya ini membujur di rajang, dikit-dikit sms cuma buat ngengetin minum obat. Ada kali satu hari bisa ampe 10 kali kirim sms yang sama, "Say jangan lupa minum obat yha!" padahal dalam sehari minum obat cuma 3 kali.

Nah kalau si mami berkelit bukan diurusan obat, tapi diurusan makan, makan dan makan. Mulai dari bubur, sayur, buah dan cemilan. Kayaknya mertua nggak mau melihat menantu kesayangannya ini kurusan hikh! Padahal aku juga berharap dengan sakit ini bisa sekalian ngurusin badan. Emang seh pas parah-parahnya tuh penyakit, berat badanku turun ampe 4 kilo. Tapi melihat semangat mami yang selalu teriak: "makan, makan dan makan" dan menyelami jargonnya: "Banyak Makan Pangkal Jarang Sakit," kayaknya berat badan bakal naik lagi.

Karena tahu sakit nggak enak maka aku pengen banget buru-buru sembuh, pengen buru-buru kerja, pengen buru-buru antar jemput Mel lagi. Jadi demi tercapainya cita-cita yang luhur ini, aku seh nurut aja makan obat sebanyak-banyaknya, istirahat sebanyak mungkin, makan semaruk mungkin.

Nah setelah melewati berbagai cobaan hidup yang berat ini, halah! Akhirnya besok aku dah mulai kerja. Horeeee!!! Aku kangen banget sama semua orang di kantor. Kangen sama rekan kerja yang bawel-bawel, kangen sama anak disain yang suka pada nyanyi dengan suara sekenceng toa dan kangen ama OB dan CS yang rajin beresin meja kerjaku yang berantakan. Akhirnya... Waras juga!

So, aku mau berterima kasih buat semua orang yang udah perhatian, merawat, menjaga, mendoakan dan memberi nasehat. Terutama buat kekasih tercintaku dan ibu mertua tersayang. Kalian adalah kado terindah yang diberikan Tuhan kepadaku. Love u Beib! Love u Mom!