Jumat, Maret 18, 2011

Soal Symbol...











Beberapa hari yang lalu, saat hendak mengurus dokumen pribadi, aku terpaksa ngobrak-ngabrik lemari nyokap. Tiba-tiba aku menemukan sebuah dompet besar yang antik. Antik? Yaiyalah secara di dompet itu ada tulisan “Barang Berharga.” Kan aku jadi mendadak curiga kalau isi dompet ini adalah emas, surat tanah, or surat rumah. Hm… siapa tahu sebelum meninggal nyokap pernah beliin aku harta warisan tapi lupa bilang-bilang. Membayangkannya aku langsung cengar-cengir sendiri.

Butuh waktu lama dan tenaga besar untuk membuka dompet itu. Sumpah, setengah mati deh! Secara itu token pembuka dompet itu sudah karatan nggak jelas. Jadi ngebukanya aja bisa bikin tangan tetanus. Tapi demi masa depan, demi kesejahterahan, demi Indonesia, maka dengan segala upaya dan tenaga akhirnya. Ups! Dompet itu terbuka juga.

Dag

Dig

Dug

Deerrr. Terungkaplah isi dompet.

Astaga. Apaan nih? Kayak fosil pithecanthropus ereksi eh erectus, tapi kok kecil-kecil begini. Kuangkat tinggi-tinggi benda purbakala itu. Dan setelah melakukan penyelidikan secara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Akhirnya aku bisa memprokramirkan kemerdekaan Republik Indonesia, eh maksudnya aku sudah bisa memastikan benda antik apa gerangan. Ternyata benda dalam dompet itu adalah… TALI PUSAR… Ada dua, dan masing-masing bertuliskan namaku dan nama abangku.

GUBRAKKK!!! Nggak jadi kaya deh! Boro-boro ada yang mau bayarin nih tali pusat semilyar, diobral aja pada ogah. Kecuali, kalau tiba-tiba otakku sepintar Einstein yang bisa membuat penemuan produksi bahan bakar dengan menggunakan minyak jelanta bekas goreng ikan asin. Baru deh tuh pada rebutan untuk memiliki tali pusar si genius ini sebagai jimat. Gimana nggak pada rebutan, secara orang juga pada tahu soal kemampuan otakku yang pas-pasan.

Tapi… Lepas dari kecewa karena isi dompet itu bukan emas batangan atau surat tanah atau surat rumah, finally aku ngerasa senang juga. Untung aja isinya tali pusar, bukan Mas Yono sales panci presto yang kalau nawarin barang bisa memunculkan niat bunuh diriku dan untung aja isinya bukan surat utang keluarga yang perlu aku bayar. (jayus banget, kan? DeNi gitu loh!).

Biar bagaimanapun juga tali pusar itu telah menjadi saksi pengorbanan nyokap waktu melahirkan aku, dan juga telah menjadi saksi lahirnya orang keren dan imut ke muka bumi yang fana ini. Fiuh!

Jadi untuk menghargai penemuanku itu, aku punya ide untuk membuat plakat yang didalamnya ditaruh tali pusar milikku dan milik abangku. Kan jadi keren tuh kalau dipajang. So, besoknya aku langsung membawa kedua tali pusar itu ke tukang plakat dengan penjelasan:

“Tolong ya Bang. Tali pusar ini di masukin ke dalam plakat terus dibawahnya ditulis nama saya, terus tanggal lahir dan nama mama dan papa saya. Oh iya jangan lupa symbol jenis kelaminnya ya. Oke. Jangan salah ya Bang. Awas loh kalau salah,saya nggak akan ke Taman Safari lagi.”

Tukang bikin plakat langsung monyong. Seperti dapat elmu dadakan, tiba-tiba aku jadi bisa baca pikirannya:

“Apa hubungannya salah bikin plakat sama nggak mau ke Taman Safari? Kayaknya nih cewek sinting deh. Pantes aja hidungnya gede.”

Loh jangan gitu dong Mas tukang plakat? Apa hubungannya sinting sama hidung? Huh! Ini sebenernya yang sinting siapa sih? Aku jadi punya firasat buruk sama ini orang nih.

Tik, tik, tik, waktu berdetik… akhirnya seminggu berlalu. Si tukang plakat nelepon kalau plakatnya sudah jadi. Buru-buru aku datangin tuh toko. Dan pas lihat hasilnya… GUBRAK!!! Bener aja kan tuh firasat gue!

Ya ampun, itu symbol jenis kelamin kenapa jadi begitu modelnya ya?. Symbol untuk jenis kelamin perempuan kan mestinya tanda plusnya di bawah. Ini malah miring ke atas kayak symbol laki-laki. Maksudnya apa ya? Apa ini tuh tukang plakat bisa baca kalau aku… Kalau aku… Hihihihi…

Ah, bodo amat deh…