Kamis, Januari 29, 2009

Obrolan Sebelum Bobo


Sebelum ranjang empuk terhampiri. Sebelum bulan dan bintang menutup matanya. Sebelum batal dan guling melakukan tugasnya.
Deni : Mel, aku mengagumi pesonamu.
Mel : Deni, aku memuja kharismamu.

Deni : Kau adalah melodi yang menyejukan.
Mel : Kau adalah dawai yang menggembirakan.

Deni : Aku salut pada kesetiaanmu memasak setiap hari untukku.
Mel : Aku bangga pada kesediaanmu mengantarku kemana pun aku pergi.

Deni : Kau adalah bulan lembut yang menghiasi malam.
Mel : Kau adalah matahari perkasa yang menyinari siang.

Deni : Aku kangen pada kenakalanmu saat tak mau menghabiskan makanan.
Mel : Aku rindu pada cerewetmu untuk selalu teriak. "Sesuap lagi yha say! Please!"

Deni : Kau adalah burung Gereja yang bercicit di atap rumah setiap pagi.
Mel : Kau adalah burung Rajawali yang mengepakan sayapnya melintasi gunung-gunung.

Deni : Aku bersemangat saat menghampiri dan mencumbuimu di ranjang
Mel : Aku bahagia saat menanti dan membalas cumbuanmu di ranjang

Deni : Kau adalah bunga mawar putih yang bermekaran
Mel : Kau adalah kumbang yang berkeliaran

Deni : Aku senang melihat kau bersemangat mendengar ceritaku
Mel : Aku selalu menanti menikmati ceritamu tentang surga kita

Deni : Kau adalah hidung
Mel : Kau adalah upil

Deni : Aku suka melihat kau membersihkan komedo di hidungmu
Mel : Aku senang menyaksikanmu mencukur bulu kaki

Deni : Kau adalah penjara
Mel : Kau adalah narapidana

Deni : Aku bahagia menerima buku darimu
Mel : Aku gembira saat kau membacanya

Deni : Kau adalah bohlam lampu
Mel : Kau adalah sengatan listrik

Deni : Aku menyukaimu, saat kau bernyanyi malu-malu
Mel : Aku mengagumimu, saat kau bermain musik percaya diri

Deni : Kau adalah duniaku
Mel : Kau adalah hidupku

Deni : Aku menyukai senyumanmu
Mel : Aku jatuh cinta pada caramu berbicara

Deni : Kau adalah bait-bait kata
Mel : Kau adalah puisi cinta

Deni : Aku menyukai kedekatanmu dengan Tuhan
Mel : Aku terpesona pada caramu berpikir tentang Tuhan

Deni : Kau adalah doa-doa yang dinaikan
Mel : Kau adalah mazmur-mazmur yang dikidungkan

Deni : Aku menyayangimu
Mel : Aku mencintaimu
Deni : Kau adalah alasanku hidup
Mel : Kau adalah alasanku menemani hidupmu
Deni : Mel, mari kita tidur
Mel : Pastikan semua pintu terkunci rapat sayang!
Deni : zzz zzz zzz zzz
Mel : zzz zzz zzz zzz

Sabtu, Januari 24, 2009

Tentang Imlek Dan Mimpi


Mel dan aku ingin bercerita tentang imlek. Tentang anak-anak kecil yang berbaris rapi di depan rumah menunggu angpao dibagikan. Tangan mereka terangkat tanda penghormatan kepada makhluk yang lebih tua. Setelah diangkat, tangan itu diturunkan dan mengadah untuk menerima sebuah amplof merah bertuliskan aksara cina, yang aku sendiri tak tahu apa artinya.


Tahukah kamu apa yang dipikirkan anak-anak saat mereka melihat beberapa amplof di genggaman tanganku? Aku menebak mereka membayangkan coklat, es krim, mainan dan berbagai barang yang siap mereka beli setelah membongkar isi angpao. Padahal angpao yang mereka terima hanya berisi beberapa lembar uang ribuan. Namun beberapa lembar uang itu cukup menjadi motivator untuk membuat mereka berkumpul berdesakan di depan rumah, tersenyum penuh harap dan melompat kegirangan. Padahal bagi kita, angpao dengan isi beberapa lembar uang ribuan itu hanya sedikit memberikan pertolongan. Isi angpao itu hanya berakhir pada tukang parkir, WC umum dan segelas Aqua. Tapi bagi anak-anak di kampung Mel, angpao itu melambungkan kegembiraan, senyum, khayalan dan berakhir pada harapan.

Apa yang membuat angpao merah itu menjadi sangat berharga di tangan anak-anak? Mengapa beberapa lembar uang ribuan mengalami peningkatan nilai, hingga mampu menarik senyum, riang dan tawa. Jawabannya hanya satu, yaitu karena angpao itu adalah sebuah impian yang jadi nyata.

Waktu aku kecil, malam sebelum Imlek adalah malam yang membuatku berdebar-debar, membayangkan berapa angpao yang akan aku peroleh, berapa uang yang akan aku terima, barang apa yang ingin aku beli. Angpao itu adalah adalah tujuan, harapan dan impian. Impian yang membuatku bersemangat datang dari satu rumah ke rumah lain, berdiri berbarisan, mengembangkan cengiran selebar-lebarnya dan mengucapkan kalimat dengan sangat manis "Terima kasih Cek, terima kasih Aih, terima kasih Oo, terima kasih Kong."

Sobat, impian adalah bagaikan bahan bakar yang memacu kendaraanmu berjalan. Impian, harapan, tujuan dan cita-cita adalah pemotivasimu untuk berani melangkah menggapai impian itu. Aku tahu kita tidak sedang memimpikan angpao di Imlek ini. Kamu tidak, aku pun tidak, meski di blogku ini ada tulisan "Angpao Na Lay" hihihihihi. Sumpah ini bercanda 100%, tapi kalau berneran seh.... hihihihihihihi. Eh, ampe di mana tadi? Oh... iya tentang impian yha? Yha, sungguh aku tidak tahu apa yang sedang kamu impikan sekarang. Mungkin kau memimpikan perempuan itu, baju ini, mobil itu, rumah ini, ah entah apalah. Aku cuma ingin bilang, jangan anggap impian adalah sebuah kesalahan. Impianmu adalah langkah awal untuk menggapai cita-cita itu. Impianmu adalah tenaga untuk kau bertindak. Impianmu adalah kekuatan untuk kau berusaha. Jadi, mari bermimpi di Imlek ini! Mimpikan aku, kamu dan kita menjadi manusia yang lebih baik.

"Met Imlek Yha!"

Jumat, Januari 09, 2009

Aku Menyebut Tahun 2008 Istimewa


Aku menangis di sudut kamar membayangkan hidupku sepanjang tahun 2008. Tahun yang awalnya aku lewati dengan raga yang hampir hancur namun diakhiri dengan tubuh yang begitu gagah. Oleh karena itu aku bersujud kepada Tuhan. Kusukuri kehidupan baru yang merekah sepanjang tahun 2008.

Aku bersyukur karena pada tahun itu banyak orang-orang baru yang muncul dalam hidupku dan memberikan warna yang kuat. Seketika saja mereka menjadi hidupku, menjadi masa depanku. Walau pada tahun itu pun, aku juga kehilangan banyak orang. Mereka hilang sehilang-hilangnya. Pergi tanpa kata, menghilang tanpa jejak. Seketika saja mereka menjadi masa laluku.

Aku menyebut tahun 2008 istimewa. Aku tidak pernah memintanya. Tapi Tuhan menghadikankan keistimewaan itu. Begitu cepat, begitu sakit namun begitu memberi kebahagiaan. Aku mengalami pergolakan jiwa yang sarat. Mulai dari keraguan, keberanian, langkah, galau, bertanya, belajar, mengajar hingga menerima dengan penuh syukur. Semua menjadi warna yang indah dalam perjalananku dengan mahluk bernama perempuan. Bernama Mel. Tuhan menyatukan aku dengan perempuan itu setelah kami saling mencinta beratus hari lamanya.

Berbagai peristiwa dan gejolak emosi yang begitu kompleks di tahun 2008 mengajarku untuk membenahi diri dan cara memandang Tuhan. Aku menjadi lebih introvert dan melankolis. Menjadi lebih spiritual dan religius. Tahun itu, aku merasa seperti keledai dungu, seperti kain kesumba berwarna merah pekat, seperti noda. Dan dalam segala rasa itu, Tuhan datang menjadi musafir yang naik keledai, naik ke punggungku, sehingga aku menjadi keledai yang berguna. Tuhan datang dan mengubah kain kesumba dan titik-titik noda menjadi putih seperti bulu domba. Sungguh, dalam kegamangan aku sangat membutuhkan Tuhan untuk menuntun jalan.

Dan sepanjang tahun itu. Sepanjang jalan yang harus aku lalui. Di atas jalan-jalan yang penuh semak duri dan batu tajam, Tuhan menggendong dan menibakanku di ujung jalan dengan selamat. Di ujung tahun 2008, aku berdiri tanpa luka.

Segala jenis senyum membentang. Kuciumi dengan penuh kasih sayang kaki Tuhan yang berlumur darah saat menggendongku. Ia tersenyum, aku juga. Tuhan bertanya: "Apa yang kamu minta dari-Ku di tahun 2009 ini?" Kujawab: "Pegang tangan-Ku Tuhan, dan jangan lepaskan. Itu lebih dari cukup."