Jumat, Oktober 31, 2008

A Gift From God

Mel, lihatlah Tuhan ada di sini, di hati kita. Kehadiran-Nya di hati, telah menyentuh seluruh jiwa kita. Ia membuat kita mampu melakukan banyak hal baik kepada semua orang sehingga mereka dapat merasakan bahwa Tuhan benar-benar ada.

Mel, lihatlah Tuhan ada di sana, di hati mereka. Kehadiran-Nya di hati, telah menyentuh seluruh jiwa mereka. Ia membuat mereka mampu melakukan banyak hal baik kepada kita sehingga kita dapat merasakan bahwa Tuhan benar-benar ada.

Mel, kamu harus tahu bahwa dalam dunia ini Tuhan memperkenalkan kita tetang hukum take and give, tentang tabur dan tuai, tentang memberi dan menerima. Saat kita menerima, Tuhan juga memberi kesempatan kita untuk memberi. Dan saat kita memberi, Tuhan juga terkadang memaksa kita untuk menerima.

Dan saat ini, Tuhan membawa kita untuk menerima banyak. Menerima segala kebaikan dan kemurahan, menerima segala perhatian dan ketulusan, menerima segala kasih sayang dan pengorbanan. Yang bukan hanya kita terima dari sahabat dunia nyata, tapi juga dunia maya.

Segala masalah yang terjadi dalam hidup kita, telah menyiramkan hikmah. Hikmah bahwa Tuhan begitu menyayangi kita dengan menempatkan sahabat-sahabat yang begitu mengasihi kita. Sahabat yang rela berkorban, berdoa, menasehati, menegur, mengkritik, memuji, menguatkan dan menopang. Mereka adalah harta yang terlalu berharga, harta yang tidak akan pernah terganti oleh apa pun. Memiliki mereka sama dengan memiliki seluruh kekayaan dunia. Karena segala limpah, bahagia dan senyum berasal dari hati, dan mereka adalah sosok yang telah berhasil menyentuh hati kita. Sungguh, kita menjadi begitu kaya memiliki sahabat seperti mereka. Mereka adalah anugerah Tuhan yang dihujankan pada kita. Mereka adalah kekuatan yang merasuk ke dalam jiwa kita yang lemah. Mereka adalah senyuman yang mengembang di bibir kita yang kelu.

Mel, lihatlah, Tuhan ada di sana sini, di hati kita dan hati mereka. Kehadiran-Nya di hati, telah menyentuh seluruh jiwa kita dan jiwa mereka. Ia telah mengikat aku, kamu dan mereka dalam ikatan kasih yang murni, kasih yang telah mendorong mereka untuk berkorban, kasih yang telah menarik kita untuk memberi. Sehingga kita semua dapat merasakan bahwa Tuhan benar-benar ada.

Selasa, Oktober 28, 2008

Hari Nyengnyong

Setiap hari adalah hari yang sibuk bagi aku dan Mel. Impian untuk bangun siang rasanya sudah terkubur. Dari senin sampai jumat kami bekerja dan diselingi pelayanan gereja pada malamnya. Sabtu Mel kuliah seharian dan aku mengantarnya. Hari Minggu kami sibuk pelayanan gereja dari pagi sampai malam. Setiap hari melelahkan. Senin-Minggu kami harus bangun pagi dan tidur dilarut malam.


Ah, kami begitu lelah. Tak jarang sesampainya di rumah aku segera tidur, melupakan belaian dan cumbuan yang mestinya kuberikan pada kekasihku. Tak jarang pula Mel sibuk mengerjakan tugas-tugas kuliahnya, melupakan kasih sayang dan kemesraan yang seharusnya diberikan kepada kekasihnya. Tak jarang aku merengek minta dimanjakan, tapi panggilan dari tugas-tugas kuliah Mel yang menumpuk terasa begitu kuat baginya. Tak jarang Mel merengek minta kutemani belajar, tapi mataku begitu berat, lima menit kemudian aku sudah ngiler di bantal. Dan tak jarang juga Mel harus menungguku pulang pelayanan hingga jam 12 malam. Kadang hanya tubuh lelapnya yang menyambut, tapi kadang senyum manis dan segelas wedang jahe menyapa.


Ah, kami lelah. Dan dalam kelelahan kami memimpikan sebuah hari di mana kami bisa berlibur dan bersantai. Kami sebut hari itu sebagai hari Nyengnyong (*ngasal mode on, Ssst itu bahasa orang kampung sini), hari kedelapan dalam satu minggu. Sebuah hari yang disisipkan antara hari Minggu sampai Senin. Hari yang hanya ada dalam dunia khayal kami. Sebuah hari di mana aku bisa bangun siang, bercanda, bercumbuan dan bergulingan dengan Mel di atas kasur. Sebuah hari di mana aku bisa memasak sayur buncis untuk Mel, mencuci baju bersama, menonton DVD tanpa ketiduran, bernyanyi sambil bermain piano, berlari dipinggir pantai dan saling mengguyur air laut. Suatu hari dimana aku dan Mel bisa berbicang-bincang tentang cinta dan masa depan. Suatu hari dimana aku bisa membelai Mel mesra sampai titik kepuasannya. Suatu hari di mana kami bisa pergi ke bioskop tanpa terburu-buru pulang. Suatu hari dimana kami bisa cekikikan ditepi kali Cisadane.


Sayangnya, hari itu tidak pernah ada. Bahkan libur hari besar kami telah diisi dengan sejumlah jadwal rapat gereja, kegiatan sosial dan kunjungan ke keluarga besar. Memang hari itu tidak pernah ada sebab hari ini Mel tetap bangun jam 5.00 WIB, menyiapkan makan pagi untukku. Dan aku bangun jam 05.30, segera mandi dan berangkat, entah ke kantor, entah mengantar Mel kuliah, entah ke gereja. Yang jelas setiap hari aku bangun jam 05.30 dan tidur paling cepat jam 23.30 WIB. Em... aku ngantuk, benar-benar ngantuk. Baiklah kuselesaikan tulisan ini, dan aku segera menuju meja kerja untuk tidur. Eh salah, maksudku untuk bekerja.

Senin, Oktober 27, 2008

Masa Seh Tuhan Jahat?

Aku tertegun, air mata berlomba turun di pipi. Mel, yang datang tergesa-gesa, segera duduk disampingku dan berusaha membuatku lebih tenang. Ia menggenggam tanganku erat. Sambil membasuh air mataku dengan sapu tangannya. Aku terdiam. Masih kurasakan sisa-sisa kelelahan perjuanganku membayar cicilan motor yang aku pakai untuk berbagai kegiatan gereja dan kegiatan sosial kepada kaum marginal. Ternyata motor yang begitu susahnya aku dapatkan, hilang seketika dengan begitu mudahnya.

Seorang teman kantor berkata: "Yha sebuah motor apalah artinya, nanti juga kamu bisa beli lagi."

Aku menanatap wajahnya nanar. Ah, seandainya kau tahu. Bagiku 15 juta bukanlah uang sedikit. Dengan sekuat tenaga aku mencicilnya dari hasil keringatku. Tak jarang aku harus lembur dan tidak tidur bermalam-malam untuk mencukupi kebutuhan hidupku, mencukupi kebutuhan hidup keluargaku, untuk menyekolah dan menguliahkan beberapa anak, untuk menyumbang sekian rupiah bagi yayasan kaum marginal. Sungguh bagiku motor itu adalah harta. Selebihnya, hanya ada beberapa ratus ribu rupiah dalam tabungan.

Aku menangis, Mel pun menangis, merasakan betapa berharganya harta yang menurut sekian banyak orang tak terlalu bernilai.

Aku menangis, Mel pun menangis, mengingat betapa banyak kenangan yang kami ukir di atas motor itu. Mulai dari masa PDKT sampai kami menjadi sepasang kekasih.

Aku menangis, Mel pun menangis, mengingat betapa penting motor itu untuk kami. Jarak kantor ke rumah sekitar 50 Km, berarti dalam satu hari motor itu kupakai untuk menempuh jarak minimal 100 Km.

Aku mengangis, Mel pun menangis, mengingat bahwa sebulan yang lalu aku baru saja bersorak gembira atas kelunasan motorku. Aku bercerita kepada sahabat-sahabatku bahwa cicilan motor akan berakhir. Selebihnya aku memliki 1,3 juta perbulan untuk kukelola. Dan masih teringang saat aku menyampaikan sebuah pesan kepada Mel, sebuah pesan yang aku terima dari Lakhsmi, "Say ada pesan dari ci Lakhsmi, setelah motor ini lunas, uang kita harus dipenjarakan, harus ditabung."

Aku menangis, Mel pun menangis, mengingat bahwa kami hampir tidak pernah meminta apa-apa kepada Tuhan. Di saat hampir semua pelayan gereja mendapat inventaris motor, aku menolak menerimanya, kuingat uang kas gereja yang tak seberapa. Jadi aku hanya meminta kekuatan dan kesehatan dari Tuhan agar aku dapat membeli sebuah motor dari hasil jerih lelahku sediri, dari gajiku yang tak seberapa. Hanya itu yang aku minta dari Tuhan.

Jahatkah Tuhan kepadaku? Apakah Dia tidak sayang padaku? mengapa Dia ijinkan semua ini terjadi? Sungguh aku tidak tahu. Tapi, demi air mata yang menetes di pipiku dan Mel. Dalam kesadaran, dalam kelemahan, dalam kekecewaan dan tanpa sebuah alasan, aku berucap kepada kekasihku:
"Say, Tuhan gak pernah jahat."
"Hah?"
"Tuhan gak pernah bisa berbuat jahat, Dia gak punya sifat jahat. Jadi apa yang kita alami ini adalah demi kebaikan kita. Suatu saat kita akan mengerti. Suatu saat kita akan tersenyum untuk semua kejadian ini. Percaya itu."
"Amen." Mel memelukku erat.

Kamis, Oktober 23, 2008

Menjumpai Jo

Aku masih tertegun ketika segelas blueberry ice hampir habis kureguk. Sumpah aku mati gaya. Ini adalah pengalaman pertamaku menjumpai seseorang yang tahu tentang hubungan spesial antara aku dengan Mel. Kegelisahan menguasai seluruh jiwaku, meskipun yang aku jumpai adalah perempuan yang telah aku kenal baik dalam dunia maya. Bukan, bukan karena aku tidak mempercayainya. Sungguh, aku percaya padanya, maka aku mau menjumpainya dalam dunia nyata. Ini adalah titik masalahnya, dia adalah orang pertama.

Perempuan itu banyak bercerita tentang dirinya dan aku berusaha menjadi pendengar yang baik. Sebab bibirku terasa begitu kelu. Untungnya perempuan itu begitu tenang dan menenangkan. Aku, dengan segenap kemampuanku berusaha mengungkapkan ribuan kata dan cerita tentang aku dan Mel, tapi aku tetap merasa lebih akrab dengan kecanggungan. Halah, kenapa aku ini? bukankah aku sudah terbiasa berjumpa dengan ratusan orang? Dari yang miskin sampai yang kaya, dari yang terabaikan sampai yang dipuja. Bahkan bukankah aku sudah terbisa berbicara dan tampil di depan banyak orang? Entah mengapa, kali ini aku grogi setengah mati walau hanya menghadapi seorang perempuan. Entah karena aura perempuan itu yang begitu kuat karena matanya yang selalu memandang mata lawan bicara atau karena aku yang begitu bodoh? Entahlah.

"Udah jemput Mel sana!"
"Em, tapi kalau gue jemput dia, gue baru bakal kembali 3 jam lagi loh, gimana?"
"Ok gue tunggu."

Setelah 3 jam menempuh jarah 100 Km, aku dan Mel kembali datang kepada perempuan itu. Jujur salah satu alasan yang membuat aku semangat menjemput Mel adalah untuk menularkan semua rasa kacau balau yang aku rasakan sejak 2 jam silam kepada kekasihku. Kami bertemu, kami berhadapan. Perempuan itu melemparkan canda. Tapi aku dan Mel malah gelagapan membalas candaannya. Beberapa kali garpu terlempar dari meja, beberapa kali pizza meloncat ke tubuhku saat aku memotongnya, beberapa kali Mel gelagapan kehabisan kata-kata, beberapa kali aku mengeryitkan dahi, beberapa kali aku menepuk paha Mel dengan maksud yang tak jelas, beberapa kali kami berbicara tidak nyambung, beberapa kali aku menghela keringat di dahi dan beberapa kali aku dan Mel celingukan. Intinya aku dan Mel merasa menjadi pasangan yang paling bodoh saat itu. Anehnya perempuan itu tetap santai. Sekali lagi, matanya selalu memandang mata kami. Dan ini semakin membuat kami ciut.

Dalam perjalanan pulang dari pertemuan itu, aku dan Mel cekikikan menertawakan kebodohan kami. Ini adalah pengalaman pertama aku dan Mel kopi darat. Ini adalah pengalaman pertama aku dan Mel berjumpa dengan orang lain yang tahu hubungan kami. Dan ini adalah pengalaman pertama aku begitu canggung menghadapi seseorang. Tapi untung orang pertama itu adalah Frizzy Jo yang bisa memahami kegelisahan kami, bisa mendalami kecanggungan kami dan bisa menciptakan tawa ditengah ketegangan. Mungkin dalam pertemuan berikutnya aku dan Mel akan menjadi lebih baik, lebih santai.

Yha, kami bertemu Frizzy Jo. Dan aku beri tahu dua rahasia tentang dirinya kepada kalian. Pertama, untuk bertemu dengan Jo, kalian harus membawa sesajen yaitu sebungkus rokok Malboro Light Menthol beserta korek apinya. Yang kedua, menurut kami, Jo itu tidak keren, tapi Jo itu manis, manis sekali, sampai-sampai Mel bilang:

"Say, Jo tuh lebih manis dari kamu loh!"
"Hah? jangan-jangan Marlboro-nya dipakai buat melet kamu. Uuuuuhhhh"
"He..he.. Tapi aku suka muka jelek kamu kok say. Tampang jelek kamu ini yang buat aku cinta kamu setangah mati. Cinta banget"
"Huh kamu, mau bilang cinta aja pake ngatain jelek dulu."
Aku mendoerkan bibir. Aku ngambek.

Sabtu, Oktober 18, 2008

Cinta Yang Tidak Akan Bertambah

Dear My Love...

Mel, dulu aku hanya pengagummu yang mengintipmu dari balik pintu. Kamu begitu cantik. Berulang kali kamu hanya menyapaku lewat senyum. Ada banyak tabir yang membuatmu hanya puas oleh sebuah senyuman. Dan aku pun merasa begitu, senyummu cukup bagiku.

Mel, dulu aku hanya seorang konselormu. Mengucap sedikit saran yang memberi sedikit pengaruh dalam hidupmu. Hanya sedikit. Semua kalimat yang melompat indah dari bibirku segera hilang di udara. Dan kamu merasa kata-kata kecil cukup bagimu, akupun merasa begitu, cukuplah itu.

Mel, dulu aku hanya seorang pengendara motor yang kadang kau sapa saat berpapasan di jalan. Tak ada banyak kata. Kau segera berlalu, mataku mengekor, namun kau segera lenyap. Dan kau merasa perjumpaan itu cukup, akupun begitu, cukuplah untaian kata singkat yang terlontar dari bibir merahmu.

Mel, kini aku adalah ruang percintaanmu. Aku menerobos pintu kamar dan bertahta di ranjangmu. Bukan hanya senyum yang kau berikan. Tapi ciuman sayang, pekukan hangat dan rangsangan kenikmatan. Kita berguling, meremas, menghisap, mengecup lalu tertawa dalam surga dunia. Aku menjadi begitu berharga bagimu. Aku adalah mawar putih yang tak pernah berhenti kau hirup baunya.

Mel, kini aku adalah pemimpinmu. Aku duduk dihadapanmu sebagai salah seorang yang kau limpahi hak untuk mengambil keputusan dalam hidupmu. Aku punya bagian unuk menentukan di mana kamu harus kerja atau kuliah. Untuk menentukan apa yang harus kamu lakukan selama setahun kedepan dan apa yang harus kamu buang. Aku menjadi begitu berharga bagimu. Tidak ada satupun keputusan yang kau ambil tanpa persetujuan dariku.

Mel, kini aku adalah pendampingmu. Aku menemani kemanapun engkau pergi dan mengantar ke tempat mana pun yang mau kau kunjungi. Aku menjadi begitu berharga untukmu, tak ada satu pun tempat yang kau singgahi tanpa pendampinganku.

Apa yang membuat dulu dan sekarang begitu berbeda?
Adalah Cinta yang menjadi biang keroknya.

Dia tidak pernah mengenal kata cukup. Kita berulangkali mengingatkan diri tentang arti kata cukup itu, tapi cinta berulangkali berteriak tetang arti kekuatannya. Cinta itulah yang menghantarku menghampirimu. Cinta itulah yang membuat aku memberi pengaruh besar dalam hidupmu. Cinta itulah yang membuatku selalu disampingmu.

Dulu telah berubah menjadi kini. Aku, seorang yang kau hormati seperti kakakmu sendiri, telah berubah menjadi kekasih hati. Hidup yang wajar telah berubah menjadi unik. Semua berubah. Tapi, hari ini kuberitahu kepadamu bahwa ada satu yang tidak pernah berubah.

Yaitu cintaku kepadamu...
Maka kuperjelas obrolan kita semalam
"Say, cintamu ke aku bakal berkurang nggak?"
"Nggak dong say?"
"Berati cintamu bakal bertambah terus yha?"
"Nggak juga"
"Loh?"

Mel, kamu harus tahu bahwa cinta yang kini sama besarnya dengan yang dulu. Kekaguman yang kini sama besarnya dengan kekaguman yang dulu. Tidak pernah berkurang dan tidak pernah bertambah. Sebab sejak dulu aku telah mencintaimu dengan cinta yang penuh, jadi bagimanakah aku harus menambahkannya? Mari buat interval cinta antara 0-10, maka sejak dulu aku mencintaimu dengan cinta berangka 10, jadi adakah yang lebih besar dari angka itu? Maka kujawab pertanyaanmu semalam. Cintaku tidak akan berkurang, itu pasti. Tapi cintaku juga tidak akan bertambah sebab aku telah dan akan selalu mencintaimu dengan cinta yang penuh.

With love,
De Ni

Kamis, Oktober 16, 2008

Saat Aku Harus Pergi Meninggalkan Mel

Aku masih tersenyum mengingat tingkah polahnya ketika sibuk mempersiapkan barang-barang yang harus aku bawa saat pergi ke Yogyakarta menyelesaikan tugas kantor. Sumpah dia sibuk dan cerewet setengah mati. Namun aku menanggapinya dengan tenang sembari mengedit materi presentasi. Dia grubak-grubuk sendiri sambil sesekali teriak-teriak memberi penjelasan.

"Say ini, aku bawain obat mencret, obat alergi, minyak kayu putih, obat batuk, pusing, pilek dan satu lagi say bedak gatal."
Aku menganguk-angguk sambil terus memandangi laptop.
"Say nanti kalau alergi kamu kumat, minum antibiotik sama kasih saleb yang ini yha."
"Iya."
"Nah kalau radangnya yang kumat minum obat ini, sama antibiotik tiga kali sehari yha"
"Iya"
"Eh, Say lihat sini dulu. Tar salah minum obat lagi."
"Iya, Iya" aku menoleh sebentar.
"Terus kalau batuk, minum obat yang ini"
"Iya" Aku kembali mengetik
"Say, lihat dulu"
"Iya."
"Nah terus kalau pilek yang ini say.""Ok"
" Nah yang disebelah sini baju tidur, ini baju kerja, ini piama buat mandi, nah yang sebelah sini handuk sama sabunnya."
"Ok"
"Bagian depan, sendal yha say, aku baru beli buat kamu. Nah yang belakang pakaian dalam. Sebelah sini carge yha say.”
“Terus ini ada platik, nanti baju-baju kotor jangan dicampur sama baju bersih yha say."
"Iya, iya"
"Nah platik-plastik kecil ini kalau kamu muntah yha say."
"Gak usah, aku nggak mabukan"
"Nggak apa-apa, buat jaga-jaga"
"Gak usah"
"Buat jaga-jaga aja kok"
"Yha Wes. Oke aku dah kelar. Mau jalan neh."
Mel secepat kilat memelukku sambil termehek-mehek.
"Say, aku pasti akan kangen sama kamu. Jangan telat makan yha. Jangan lupa istirahat, jangan lupa charge HP."
"Ok"
"Kamu gak usah pakai plester-plester githu, ingat kamu alergi."
"Iya."
"Jangan makan kacang dan gorengan, ingat kamu radang."
"Iya, udah?"
"Janji telp aku yha say. Kalau aku lagi telp saat kamu sibuk angkat yha telpnya, kamu bilang aja sibuk, aku ngerti, tapi jangan dicuekin yha. Terus kalau aku sms pas kamu lagi sibuk balas yha say "ntar" githu yah."
"Iya, iya, udah?"
"Mandi pagi minta air hangat yha, Jangan lupa pake parfum kalau kamu nggak mandi. Kan kamu suka malas mandi tuh. Takut orang-orang kebauan"
"Halah, iya. Aku jalan yha"
Mel kembali memelukku,
"Say, jangan selingkuh yha. Jaga kesetiaan yha. Jangan lirik-lirik cewek lain. Inget kamu dah punya aku."
"Iya, udah? Ada lagi?'
"Say jangan lupa pake jaket kemana-mana takut masuk angin."
"Iya, udah yha aku jalan. Aku nggak bakal masuk angin kok"
"Eh, ngomong-ngomong masuk angin, aku belum beli obat masuk angin sebentar yha say."
"Busyet deh!"
Mel segera lari ke warung. dan kembali dalam waktu 5 menit sambil terengah-engah. Aku menyentuh wajahnya, "Say, Aku tuh mau kerja di sana bukan mau buka apotek. Obatnya banyak banget. Yha udah aku jalan yha?"
"Aku kan takut kamu sakit. Makanya kamu jangan makan sembarangan, jangan lupa istirahat...""Sssstttt, yang itu tadi kan udah say. Gak usah diingatin lagi yha!"
"Iya.. iya..."
"Aku dah telat nih, mana barang-barangku?"
"Tuh" Mel menunjuk tumpukan barang. Aku kaget setengah mati "Busyeeeet dah bini gua! Meeeeeeeeeeeeeeeeeeeellllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllllll"
"Iya.."
"Ini mah orang mau pindah rumah Mel."
Sumpah banyak banget, ada 1 koper segede gajah, ditambah 1 buah tas besar, ditambah 1 buah tas ransel plus sebuah tas kecil, belum di tambah laptop. Akhirnya aku dan Mel kembali membongkar barang-barang dan meringkasnya jadi koper kecil
"Oke aku akan pergi."
Mel kembali memelukku
"Say aku pasti kangen ma kamu. Ingat jangan lupa telepon, jangan lup..."
"Sssssstttt..."
"tadi kan udah say. Aku jalan yha"
Mel kembali memelukku dan menangis terisak.
“Jangan pergi.”
“Sebentar doang.”
Mel menarik kakiku, laksana seorang isteri yang menahan suaminya kabur dengan perempuan lain. Seketika saja aku terbahak-bahak melihat tingkahnya.
"Say, please deh aku cuma pergi 3 hari doang!!!!"
Mel segera menyusul tertawa. Aku memeluknya dan menciuminya hangat. “Tingkah kamu yang luchu kayak gini neh yang bakal buat aku kangen banget ma kamu. Udah yha becandanya, aku pergi.”
Mel tersenyum hangat. Aku menarik koper meninggalkan rumah. Melisa memanggilku. Aku menoleh kebingungan “Apa?”
“Say mau aku jelasin lagi soal obat-obatan gak? Takut kamu salah minum obat.”
“Busyeeettttt dah Mel. Kalau kisah ini aku tulis. Yang baca aja dah capeeeeee dan boseeeeeen banget, apalagi aku yang ngalamin.”
Kami berdua tertawa riang sebelum bayangnya berlalu setelah aku masuk ke dalam Avanza.

Yha hanya 3 hari aku di Yogyakarta, tapi ribet dan lelahnya minta ampun. Baik pra keberangkatan sampai kegiatan di sana yang begitu padat. Dan ini adalah hari keempat dimana aku tidak memiliki cukup waktu untuk tidur. Mengurus pekerjaan kantor di Yogyakarta sungguh membuat aku sangat lelah. Bisa kuhitung, aku hanya tidur 1-2 jam dalam sehari. Memang aku sengaja meringkas pekerjaan yang mestinya kuselesaikan dalam waktu satu minggu menjadi 3 hari. Melisa yang memintanya. Ia menginginkan agar aku bisa merayakan ulang tahunku bersamanya.

Tubuhku begitu melelah. Ingin rasanya kuhabiskan Rabu malam itu dengan membujur di ranjang. Tapi jiwaku melonjak melihat rona wajah Mel yang penuh dengan semangat menyambut kepulanganku. Dia mengisi segala ngantuk dan lelahku dengan obrolan lucunya, dengan sebuah kado menarik, dengan kue tart kecil yang lembut, dengan ciuman, dengan rangkulan mesra, dengan luapan kerinduan dan dengan tubuh yang basah dalam serangkaian percumbuan.

Aku menikmati malam itu, hingga pagi menjelang dan hari ulang tahunku berlalu. Sungguh dalam kelelahan, aku bersemangat. Kubiarkan Mel memimpin dan aku menjadi penonton yang tersenyum, tertawa lalu menangis haru.

“Beib, thanks buat semalam yha. Segala yang terbaik telah aku terima darimu. I Love u!”

Happy Birthday

Oleh: Melisa

Aku bersyukur ketika malam tiba karena kita punya banyak waktu untuk bersama, walaupun kau akan segera terlelap tidur, namun pelukanmu selalu memberiku kehangatan di tengah dinginnya malam.
Aku bersyukur ketika aku membuka mata di pagi hari aku masih dapat melihatmu, orang yang aku cintai ada disampingku
Aku bersyukur untuk hari ini dan setiap kesempatan yang Tuhan berikan untuk kita bersama, untuk kita saling menyatakankan cinta dan membagikan kasih kepada orang-orang sekeliling kita.
Aku bersyukur untuk hari-hari yang kita lalui bersama,
Meski, hari-hari yang kita lalui tidak selalu menyenangkan, kadang menegangkan bahkan menyedihkan, tapi aku bersyukur untuk semua itu.
Aku bersyukur untuk setiap masalah yang kita hadapi, karena semua ini membuat kita makin saling mengenal.

Bahkan aku bersyukur ketika aku menangis karenamu, karena setelah aku menangis, kau akan menghadiahkanku tawa.
Dan untuk sukacita itu, aku pun bersyukur karena semuanya itu, akan segera kita bagi kepada orang-orang di sekeliling kita.
Aku bersyukur karena cintamu begitu menyanjungku yang bukan siapa-siapa
Aku bukanlah seorang yang mempunyai banyak talenta, aku tidak pandai bernyanyi, aku tidak bisa melukis dan aku tidak bisa bermain musik. Aku bukanlah perempuan yang hebat, juga bukan orang yang terkenal. Aku bukan seorang penulis atau seorang pujangga.
Tapi untuk setiap kekurangan yang aku punya, aku bersyukur karena kamu menerima cinta dan diriku apa adanya.
Dalam segala kekuranganku, kamu mencintai dengan tulus.

Cintamu sunguh memujaku.
Aku bukan putri kerajaan, tapi kamu terus memanggilku “Tuan Putri”.
Aku bukan bintang yang selalu memancar menghiasi langit malam, tapi kau selalu bilang kepadaku: “Kamu bersinar”.

Aku bersyukur untuk setiap kekagumanmu padaku dan setiap jutaan puitis yang kau hadiahkan untuk membuatku berbunga-bunga.
Aku bersyukur ketika kamu marah karena aku malas makan,
Aku bersyukur ketika kamu selalu mengingatkanku untuk bersikap manis pada mama,
Aku bersyukur ketika kamu berusaha menghibur saat aku sedang BT
Aku bersyukur ketika kamu memberiku nasehat,
Aku bersyukur ketika kamu menegur saat aku salah,
Aku bersyukur untuk setiap perhatian dan kasih sayang yang kamu berikan
Aku bersyukur untuk setiap kelembutan, kepercayaan, belaianmu
Terlebih lagi saat ini, aku bersyukur karena kamu, orang yang aku cintai berulang tahun.
Aku bersyukur untuk satu usia yang Tuhan tambahkan padamu.
Aku bersyukur untuk setiap pimpinan Tuhan dalam hidupmu
Dan aku juga bersyukur karena Tuhan telah mempertemukan kita.
Dan aku ingin sekali memberikanmu kado terindah yang belum pernah kau dapatkan dari siapapun.
Tapi apa yang dapat aku berikan? Aku bukanlah perempuan yang kaya dan punya banyak uang. Aku hanya bisa memberimu kue tart kecil, Alkitab dan sebuah buku yang diiringi doa yang tulus.

Seandainya bisa, sungguh aku ingin sekali menyusun bintang-bintang di langit dan menuliskan “Happy B’day De Ni” di cakrawala. Supaya semua orang tahu, bahwa orang yang paling aku cintai berulang tahun. Supaya saat mereka tahu, mereka ikut memanjatkan doa untukmu, untuk kita.
Tapi aku bukanlah malaikat yang dapat terbang tinggi ke angkasa dan mengubah susunan bintang.
Aku pun mungkin tak bisa menulis ribuan kartu ucapan selamat ulang tahun yang kutitipkan pada burung-burung merpati.
Sungguh, aku tidak bisa melakukan sebuah keajaiban itu di hari ulang tahunmu.

Tapi aku bersyukur pada Tuhan yang telah mengingatkanku.
Aku memang tidak dapat melakukan keajaiban pada bintang dan burung-burung Merpati, tapi aku punya hati. Hati yang mencintaimu dengan tulus.
Aku ingin memberimu kado yang terindah, bukan dengan barang mahal yang disertai kemewahan duniawi, tapi dengan kesederhanaan yang disertai kemewahan hati. Karena itulah yang akan membuatmu sangat bahagia.
Dan aku mau...
Aku ingin mempersembahkan kado itu disetiap waktu dalam hidupmu
Sebuah kado yang tidak berwujud, tidak dapat disentuh atau dilihat mata, tapi dapat kau rasakan.

Cinta...
Itulah yang ingin aku berikan padamu.
Aku ingin membahagiakanmu dengan cintaku, cinta yang begitu besar, agar kau dapat menceritakan tentang besarnya cintaku kepadanmu
Aku ingin menjadikanmu orang yang paling bahagia di dunia ini.

Dan hari ini, aku berjanji
Aku akan terus mencintaimu dengan cinta yang tidak pernah berkurang
Aku akan terus mencintaimu dengan cinta yang tulus
Aku akan terus menjaga cintaku untukmu
Aku akan terus mengasihimu, memberikan belaian kasih sayang, perhatian, kelembutan, dan kepercayaan
Aku akan terus mendukung dan bangga pada setiap karya-karyamu
Aku akan terus membuatmu tersenyum karena bangga memilikiku.

Akhirnya, aku bersyukur dapat menuliskan semua ini, agar setiap orang yang membacanya tahu bahwa aku mengagumimu dengan cinta.


HAPPY BIRTHDAY SAYANG
AKU CINTA KAMU
DAN AKAN TERUS MENCINTAMU!

Jumat, Oktober 10, 2008

Sisi Stess Menghadapi Melisa

Kubagikan rahasia ini. Ada satu sifat buruk Mel yang sering buat aku geregetan dan stress berat. Dalam obrolan-obrolan serius, Mel sering kali malah sibuk dengan urusan-urusan yang sama sekali tidak nyambung dengan masalah yang sedang kami obrolkan.

Bayangkan saat aku sedang curhat tentang kekesalahku terhadap sikap bos yang semena-mena. Mel malah sibuk mengamati wajahku.
"Kayaknya wajah kamu ada kutilnya say."
"Aduh say, aku lagi curhat nih dengerin dulu"
"Iya... iya... terus?" Mel Masih mengamati wajahku.
"Uh.. pokoknya tuh say aku keseeeeellll banget. Bayangin, tugas seabrek itu harus aku kerjain dalam waktu yang sesempit ini. Uh mending aku keluar kerja aja deh, terus ngelamar jadi guru."
"Kayaknya bener tuh say"
"Jadi kamu setuju aku keluar?"
"Ih... bukan itu. Kayaknya bener yang tumbuh dekat mata kamu tuh bukan jerawat tapi kutil."
"Saaaaaaaaaaaaaaaaay..... aku lagi curhat neh."
"Iya, ntar dulu deh. Aku periksa dulu. Takut bahaya." Mel terus mengamati wajah dan leherku "Iya bener kutil neh, di leher juga ada satu."
Setelah selesai mengamati seluruh wajah dan leherku, Mel menatap wajahku hangat,
"Terus ceritanya gimana say tadi?"
"Ceritanya, karena marah-marah mulu bosku jadi kutilan."
"Eh, serius?"
"Tahu ah"
"Pantes kamu kutilan, marah-marah mulu seh."
"Siapa coba yang nggak marah kalau kamu malah lebih merhatiin kutil ketimbang curhatku?"
"He..he.."

Itulah salah satu sifat buruk Mel yang telah aku maklumi. Pasalnya kejadian ini bukan yang pertama. Aku jadi ingat saat aku nangis-nangis karena abis diomelin bokap. Mel malah mengambil beberapa lembar tissue dan berkata:
"Ingus kamu banyak banget seh?"
Gubraaaaaaaaak. Pusing nggak tuh? Nangis-nangis hampir satu jam, cuma ditanggapi dengan komentar tentang ingus yang banyak?

Ini lebih parah. Saat hatiku sedang mellow, terharu dan terisak ketika bercerita tentang masa kecilku yang begitu susah dan menyedihkan, Mel malah ketiduran. Dan saat aku bangunkannya dengan kesal, ia malah membalasnya dengan enteng.
"Yha tadi gimana ceritanya?"
"Yang mana?"
"Yang tadi kamu ceritaiin."
"Iya dari yang mana?"
"Dari awal deh."
"Busyeeet dah Mel, aku udah cerita 30 menit dan nggak ada yang kamu dengar?"
"He..he.."

Waktu aku bercerita tentang murid-muridku di sanggar anak-anak jalanan yang nakalnya minta ampun, Mel malah sibuk mengamati hidungku dan berceloteh asal:
"Hidung kamu gede yha?"
"Emang!! Baru tahu yha hidungku besar. Dari kemarin juga aku gak bungkus neh hidung." Aku menjawab jengkel.

Waktu aku bercerita soal tetangga yang nyebelin, Mel malah membersihkan mataku dan berkata:
"Duh belek kamu banyak banget seh."
"Jangan diambil. Ini pesanannya Pak Haji" Aku menjawab sebel

Yha itulah Mel, dalam keseriusan selalu ada canda yang membuat aku jengkel, geram, gemes, namun membuat aku selalu kangen padanya. Inilah yang membuat aku selalu jatuh cinta padanya. Dia unik, bahkan lebih unik dari yang aku bayangkan selama dua tahun mengaguminya dari tempat persembunyian.
"I love u Beib! Thanks buat semua sisi yang kamu isi dalam kehidupanku. Termasuk sisi stress yang satu ini. Itu semua membuat aku semakin mencintamu."

Rabu, Oktober 08, 2008

Special Teacher


Sewaktu kecil aku bercita-cita menjadi seorang guru. Aku ingin menjadi pembagikan hikmat, penuntun langkah dan pendidik etika moral. Aku senang berdiri di depan banyak orang yang menanti-natikan untaian kata menggelinding dari mulutku. Untuk semua cita-cita inilah aku kuliah di jurusan keguruan.

Setelah menyandang gelar sarjana, ternyata aku tidak bekerja sebagai guru sekolah. Kemampuan menulisku yang pas-pasan justru membawaku terdampar menjadi seorang penulis dan editor sebuah buku materi pelajaran dan renungan harian. Tapi keberadaanku saat ini tidak membuat aku meninggalkan cita-cita masa kecil. Aku adalah guru. Memang bukan guru yang mengajar di sebuah sekolah elit, tapi guru yang mengajar anak-anak jalanan di tempat pembuangan sampah dan sanggar sederhana.

Ketika ketua sanggar menawarkanku menjadi guru bagi anak-anak jalanan. Aku melompat kegirangan. Cita-citaku bersorak-sorai. Tapi ternyata semua tidak semudah yang aku bayangkan. Mengemban tugas ini adalah sebuah tantangan. Murid-murid yang aku hadapi nakalnya minta ampun, mereka tidak betah duduk berlama-lama di depan meja sambil belajar membaca dan menghitung angka-angka. Sebentar-bentar mereka bilang: "Kak, nge-gambar aja yha." Dan dengan tegas kujawab: "Yha, setelah semua soal pertambahan dan perkalian sudah kamu jawab dengan benar." Dan apa reaksinya? mereka manyun sambil ngedumel pelan, tapi cukup bisa tertangkap oleh telingaku: "Bangsat!"

Tidak jarang dari antara mereka yang berkelahi dengan temannya. Dan alhasil, aku yang tidak salah apa-apa jadi terkena tonjokkan nyasar ketika memisahkan perkelahian mereka. Juga aku diingatkan untuk tidak menyakiti hati mereka. Sebab jika kita melakukannya kita akan menjadi sasaran kejahilan, alih-alih ban motor bisa kempes seketika walau tak menginjak paku. "Ampun deh!"


Beneran deh, pusing banget. Yang satu lari-lari di kelas, yang lain malah tidur. Yang satu teriak-teriak, yang lain malah ngegosip ngolor ngidul. Ada yang pulang ngeluyur kaya gedebong pisang, ada yang cium tangan ampe tangan basah oleh seember air liurnya, bahkan ada satu anak bernama Shella yang cium tangan sambil gigit. Untung giginya ompong. Jadi geli-geli enak githu. he..he..he..

Tapi jangan disangka semua adalah duka. Sering aku mentertawakan kenakalan mereka. Sering aku bangga pada beberapa anak yang otaknya cerdas. Sering aku curhat pada beberapa anak yang mulai dewasa. Dan sering aku tertawa bersama ketika dengan gembira bermain monopoli, halma, catur dan ular tangga. Dan Sering mereka bilang: "Makasih yah kak!." Bagiku semua adalah kebahagiaan.


Maka dengan dalam tangis dan tawa, kepada anak-anak jalanan yang menjadi murid-muridku, kuucapkan terima kasih untuk setiap pelajaran berharga yang kalian berikan kepadaku. Maka dalam nyata dan maya, aku berjanji yang terbaiklah yang akan kalian peroleh dariku. Maka dalam kenangan hari kemarin dan harapan hari esok, aku ingin berucap, aku bangga menjadi seorang guru anak jalanan.

Selasa, Oktober 07, 2008

Tangis Dan Tawa di Pemakaman


Mel terbelalak ketika membaca tulisan di selembar karton putih yang ditempel pada dinding sebuah rumah sederhana, yang kami lewati ketika berangkat kerja.


Telah meninggal dunia pada tanggal 05 Oktober 2008
Nama: Alvin Kartasiwirya
Umur: 18 tahun

Pasalnya Alvin adalah teman baik Mel ketika mereka masih duduk di bangku SD. Aku dan Mel segera mencari tahu. Ternyata kematian Alvin disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Alvin yang mengendarai sepeda motor tabrakkan dengan sebuah angkot. Dan kecelakaan maut itu membelah kepala Alvin yang tanpa helm.

Suasana pemakaman begitu haru. Aku menangis, dan ini membuat Mel heran setengah mati. Secara aku tidak kenal Alvin, bahkan berjumpa pun tidak pernah. Aku hanya mengenalnya melalui cerita Mel dan lewat sebuah foto hitam putih besar di depan petinya.

"Kamu ngapain seh nagis say? Aku aja yang temannya nggak nangis"
"Hiks hiks hiks" Tangisku semakin menjadi
"Udahlah say, dia dah bahagia kok di surga. Kamu sabar yha!" Mel merangkul sambil mengelus punggungku.

Gubraaaaaak!!!! Saat suasana hening karena doa yang sedang dinaikan, aku dan Mel malah cekikikan

"Apaan seh loe, mangnya dia pacar gue apa?"
"Abis loe nangisnya kayak bini muda yang ditinggal lakinya."
"He..he.. Yha biar seru aja suasananya, biar lebih haru. He..he.." Mel memeriksa suhu tubuhku dengan menaruh tepak tangannya di keningku.
"Oh... pantas!"

Aku dan Mel makin cekikikan, sampai tiba-tiba salah seorang pelayat ngomel: "Lebih haru apanya? Malah jadi kacau. Stttttttt jangan berisik!"

Cekikikan di mulutku berganti menjadi cemberut dan senyum tipis. Aku dan Mel hening hingga pemakaman usai.

"Mel, kamu tahu nggak kenapa tadi aku nangis?"
"Karena penyakit saraf kamu lagi kumat kan?"
"Uh, dasar... bukan! aku tuh lagi ngebayangin kalau aku yang ada di peti itu"
"Hah?"
"Tiap hari kita naik motor, menempuh jarak sampai 100 Km, kita juga pernah kecelakaan, pernah juga nyaris mati ketabrak busway. Yha aku bayangin aja kalau aku mati. Dan kamu yang berdiri di antara salah satu pelayat itu sambil nangis-nangis. Pasti aku sedih banget. Indahnya surga juga mungkin gak bisa hibur hatiku yang meringis karena berpisah dengan kamu. Saat aku mati, apa kamu sudah siap melepasku? Apa aku juga udah siap meninggalkanmu? Apa aku sudah siap menghadap takhta pengadilan Tuhan? Apa aku sudah siap untuk mempersembahkan karya yang aku rintis selama aku hidup di muka bumi ini kepada Tuhan? Aku takut belum siap menghadapi semua"

"Hikh... hikh... hikh. Udah jangan diomongin lagi chayang, aku jadi nanis neh. Aku kan nggak mau jadi janda muda. Hikh... hikh... hikh" Kali ini gantian Mel yang nangis sambil mendoerkan bibir dan memeras-meras sapu tangan. Dan pula gantian aku memeriksa suhu tubuhnya lewat telapang tangan yang menyentuh keningnya.
"O.... pantes."
"Apa?" Mel mencubit pipiku.
"Waduuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuh"

Senin, Oktober 06, 2008

Melisa dan Setoples Cemilan

Setelah tahu penyakit radang tenggorokkanku kumat. Melisa langsung mengambil langkah ekstrime dengan menyembunyikan semua cemilanku. Baginya, semua cemilan yang berminyak adalah haram untuk kumakan. Ke dalam sebuah toples besar, ia memasukkan kripik singkong, kripik ubi, jipang, kacang goreng, opak dan rangginang lalu menyimpannya di dalam lemari es. Ia juga mengunci lemari es dan menaruh kuncinya di dalam dompet yang selalu dibawanya kemana pun ia pergi. Aku sedih, karena semua itu adalah makanan kesukaanku.

Sangat sulit mencuri kunci lemari es dari dompetnya secara sepanjang hari ini, dompet hijau itu diselipkannya di dalam sakunya. Aku merengek sambil menghentak-hentakkan kaki di lantai seperti anak kecil yang minta mainan pada maminya.

"Chay, mam kripik ma opak, satu aja deh chay."
"Nggak"
"Chay, mum air es, segelas aja deh chay"
"Nggak"

Aku manyun, aku ngambek. Segera aku terjun ke ranjang dan memunggunginya. Mel terlihat begitu tenang dan tetap melanjutkan tontonannya. Malam itu tak ada ciuman, tak ada pelukkan, tak ada canda. Aku benar-benar ngambek. Saat Mel menyentuh punggungku, aku malah menepis tangannya.

"Honey, kamu ngambek yha...? Aku kan gak mau radangnya lebih parah, kalau dah sembuh boleh kok makan semua itu lagi."

Aku hanya diam, tak lama Mel telah tertidur pulas. Perlahan, ku sentuh celananya dan mengambil dompet hijaunya dengan hati-hati. Aku dapat! Segera, kuhampiri lemari es dengan riang dan mengeluarkan setoples besar cemilan dari tempat persembunyiannya. Kulahap semua dengan rakus, kuminum sebotol air es, kukembalikan kunci di tempat semula, lalu pergi tidur.

Dan saat aku bangun pagi hari, tenggorokanku begitu perih. Suaraku begitu parau. Tetesan darah keluar bersama liur saat aku meludah. Sangat menyakitkan

"Astaga, kamu say!" Melihat air liurku, Mel panik. Ia membuka lemari es dan membawa toples besar yang hampir kosong itu.
"Kamu tuh...."
"Ampun say" aku memelas.

Tak ada raut kemarahan di wajah Mel. Ia hanya diam, lalu mengambil sebotol obat. Tapi aku lebih memilih ia ngomel ketimbang diam. Dalam diam, aku tahu dia benar-benar marah, benar-benar sedih. Dan dalam kesedihannya, aku terluka.

Hari ini Mel mengisi kembali toplesku dengan cemilan-cemilan. Ia tidak mengunci pintu lemari es, bahkan ia menaruh toples besar itu di atas meja makan. Tapi aku tidak berani menyentuhnya. Bukan karena takut pada perihnya tenggorokan yang meradang, bukan karena takut pada omelan Melisa. Tapi karena aku menyayangi partnerku. Melukai hati orang yang kusayang sama dengan melukai diriku sendiri.

Aku Raja, Dia Tuan Putri

Jangan tanyakan bagaimana nikmatnya liburan kepadaku dan Melisa. Jangan bayangkan kami berada di pinggir pantai, berlari kecil dan berguling di atas pasir. Jangan bayangkan kami mengigil di puncak gunung, makan jagung bakar dan minum wedang jahe. Sungguh, kami tak punya waktu untuk kencan. Aku benar-benar sibuk. Aku harus mengedit sebuah buku sebanyak 400 halaman yang harus selesai cetak akhir Oktober, aku juga harus membuat 10 renuangan, mendisain cover buku dan melakukan berbagai transaksi. Jadi kau bisa bayangkan, liburan berarti duduk di depan laptop dan membaca halaman demi halaman, menulis kata demi kata dan menyapa orang satu demi satu untuk menawarkan buku cetakan yang akan diterbitkan. Suatu pekerjaan yang sangat menjenuhkan.

Tapi untung Melisa berniat untuk menjadikan aku raja saat libur lebaran tiba. Maklum selama hari kerja, dialah yang menjadi Tuan Putri. Aku adalah sopir pribadi. Aku mengantar ke mana pun ia pergi, mulai urusan kantor sampai urusan belanja. Mulai pagi hari sampai larut malam. Jadi libur lebaran adalah moment balas budi baginya.

Rabu, 01 Oktober 2008
09.00 WIB
Aku bangun tidur, Melisa menyambutku dengan sepiring nasi goreng.
10.00 WIB
Aku mandi, Melisa mencuci semua baju kotorku
11.00 WIB
Aku mengedit buku halaman 1-40, Melisa memberisihkan rumah, mulai dari menyapu, sampai mengepel lantai
12.00 WIB
Aku mengedit halaman 41-85, Melisa memasak untuk makan siang
13.00 WIB
Aku dan melisa makan siang
14.00 WIB
Aku mengedit halaman 86-130, Melisa mencuci sepatu yang aku gunakan untuk bermain bola di lapangan yang basah dan berlumpur. Sumpah kotornya minta ampun.
15.00 WIB
Aku tidur, Melisa membuat puding strawberi dan pisang goreng
16.00 WIB
Aku bangun tidur dan segera mengedit halaman 131-145, Melisa menghidangkan puding, pisang goreng dan teh hangat
17.00 WIB
Aku dan Melisa mandi
18.00 WIB
Aku mengedit halaman 146-175, Melisa memasak menu makan malam
19.00 WIB
Aku menonton TV, Melisa menyemprotkan obat nyamuk ke setiap ruangan
20.00 WIB
Aku masih nonton TV, Melisa menyetrika baju dan membereskan lemari
21.00 WIB
Aku mengedit halaman 176-211, Melisa kembali menyajikan pisang goreng dan puding, kali ini dengan secangkir kopi.
22.00 WIB
Aku mengedit halaman 212-240, Melisa duduk disampingku sambil membaca komik Doraemon
23.00 WIB
Aku mengedit halaman 241-270, Melisa masih membaca komiknya sambil sesekali memijat bahuku.

Kamis, 02 Oktober 2008
00.01 WIB
Aku mengedit halaman 271-300, Melisa tidur
01.00 WIB
Aku mengedit halaman 301-320, Melisa terbagun dan membuatkan aku secangkir teh hangat dan sebuah apel yang sudah dikupasnya dan dipotong kecil-kecil
02.00 WIB
Aku mengedit halaman 321-356, Melisa tidur
03.00 WIB
Aku mengedit halaman 357-385, Melisa terbangun lagi dan kembali membuatkan secangkir teh hangat
04.00 WIB
Aku selesai mengedit 400 halaman buku, Melisa merapikan tempat tidur. Aku tidur, Melisa menghangatkanku dengan sebuah selimut tebal. Membelai keningku sambil berdoa mirip seorang mommy menidurkan bayinya.
05.00 WIB
Aku masih tidur. Melisa masak air, mencuci piring dan baju.
06.00 WIB
Aku masih tidur. Melisa belanja ke pasar
07.00 WIB
Aku masih tidur. Melisa memasak untuk sarapanku
08.00 WIB
Aku bangun tidur. Melisa menyiapkan serpiring nasi dan sepotong ayam goreng
09.00 WIB
Aku dan Melisa nonton TV
10.00 WIB
Aku masih nonton TV, Melisa ketiduran dan aku berdoa untuknya

Tuhan bertapa teranugrahi aku
Betapa terrahmati aku
Saat aku tertidur, aku ada dalam pikirannya
Ia melipat tangan dan berdoa untukku
Saat ia tertidur, aku pun tetap memenuhi pikirannya
Ia membuka matanya dan terjaga untukku
Dengan tangan lembut melayani
Dengan hati berseri mendampingi
Di saat lelah berkecamuk, ia tetap bertahan
Sekarang ia tertidur dalam pangkuanku
Tertidur dalam kelelahan. Namun wajahnya begitu berseri
Tuhan, jagai perempuan ini
Perempuan yang selalu menjadikan aku sebagai rajanya
Berkati dia dengan kekuatan, dan
Berikan aku kasih, supaya aku bisa mengasihinya dengan kasih yang Kau beri
Amin

Aku mengeser tubuh Melisa yang masih terlelap. Bergegas aku bangkit. Dalam kegembiraan aku memasak menu makan siang, dalam riang aku menyetrika baju dan dalam kebahagiaan aku membereskan rumah.

"Mel, hari ini kamu akan jadi Tuan Putriku"