Setelah tahu penyakit radang tenggorokkanku kumat. Melisa langsung mengambil langkah ekstrime dengan menyembunyikan semua cemilanku. Baginya, semua cemilan yang berminyak adalah haram untuk kumakan. Ke dalam sebuah toples besar, ia memasukkan kripik singkong, kripik ubi, jipang, kacang goreng, opak dan rangginang lalu menyimpannya di dalam lemari es. Ia juga mengunci lemari es dan menaruh kuncinya di dalam dompet yang selalu dibawanya kemana pun ia pergi. Aku sedih, karena semua itu adalah makanan kesukaanku.
Sangat sulit mencuri kunci lemari es dari dompetnya secara sepanjang hari ini, dompet hijau itu diselipkannya di dalam sakunya. Aku merengek sambil menghentak-hentakkan kaki di lantai seperti anak kecil yang minta mainan pada maminya.
"Chay, mam kripik ma opak, satu aja deh chay."
"Nggak"
"Chay, mum air es, segelas aja deh chay"
"Nggak"
Aku manyun, aku ngambek. Segera aku terjun ke ranjang dan memunggunginya. Mel terlihat begitu tenang dan tetap melanjutkan tontonannya. Malam itu tak ada ciuman, tak ada pelukkan, tak ada canda. Aku benar-benar ngambek. Saat Mel menyentuh punggungku, aku malah menepis tangannya.
"Honey, kamu ngambek yha...? Aku kan gak mau radangnya lebih parah, kalau dah sembuh boleh kok makan semua itu lagi."
Aku hanya diam, tak lama Mel telah tertidur pulas. Perlahan, ku sentuh celananya dan mengambil dompet hijaunya dengan hati-hati. Aku dapat! Segera, kuhampiri lemari es dengan riang dan mengeluarkan setoples besar cemilan dari tempat persembunyiannya. Kulahap semua dengan rakus, kuminum sebotol air es, kukembalikan kunci di tempat semula, lalu pergi tidur.
Dan saat aku bangun pagi hari, tenggorokanku begitu perih. Suaraku begitu parau. Tetesan darah keluar bersama liur saat aku meludah. Sangat menyakitkan
"Astaga, kamu say!" Melihat air liurku, Mel panik. Ia membuka lemari es dan membawa toples besar yang hampir kosong itu.
"Kamu tuh...."
"Ampun say" aku memelas.
Tak ada raut kemarahan di wajah Mel. Ia hanya diam, lalu mengambil sebotol obat. Tapi aku lebih memilih ia ngomel ketimbang diam. Dalam diam, aku tahu dia benar-benar marah, benar-benar sedih. Dan dalam kesedihannya, aku terluka.
Hari ini Mel mengisi kembali toplesku dengan cemilan-cemilan. Ia tidak mengunci pintu lemari es, bahkan ia menaruh toples besar itu di atas meja makan. Tapi aku tidak berani menyentuhnya. Bukan karena takut pada perihnya tenggorokan yang meradang, bukan karena takut pada omelan Melisa. Tapi karena aku menyayangi partnerku. Melukai hati orang yang kusayang sama dengan melukai diriku sendiri.
Bagus, Mel. Lain kali kalo butuh bantuan Abang untuk ngerante tangannya De Ni, bilang aja yak, hehehe
BalasHapusGak usah dirante juga gak bakal nakal lagi kok Jo. he..he..he..
BalasHapus