Rabu, Oktober 08, 2008

Special Teacher


Sewaktu kecil aku bercita-cita menjadi seorang guru. Aku ingin menjadi pembagikan hikmat, penuntun langkah dan pendidik etika moral. Aku senang berdiri di depan banyak orang yang menanti-natikan untaian kata menggelinding dari mulutku. Untuk semua cita-cita inilah aku kuliah di jurusan keguruan.

Setelah menyandang gelar sarjana, ternyata aku tidak bekerja sebagai guru sekolah. Kemampuan menulisku yang pas-pasan justru membawaku terdampar menjadi seorang penulis dan editor sebuah buku materi pelajaran dan renungan harian. Tapi keberadaanku saat ini tidak membuat aku meninggalkan cita-cita masa kecil. Aku adalah guru. Memang bukan guru yang mengajar di sebuah sekolah elit, tapi guru yang mengajar anak-anak jalanan di tempat pembuangan sampah dan sanggar sederhana.

Ketika ketua sanggar menawarkanku menjadi guru bagi anak-anak jalanan. Aku melompat kegirangan. Cita-citaku bersorak-sorai. Tapi ternyata semua tidak semudah yang aku bayangkan. Mengemban tugas ini adalah sebuah tantangan. Murid-murid yang aku hadapi nakalnya minta ampun, mereka tidak betah duduk berlama-lama di depan meja sambil belajar membaca dan menghitung angka-angka. Sebentar-bentar mereka bilang: "Kak, nge-gambar aja yha." Dan dengan tegas kujawab: "Yha, setelah semua soal pertambahan dan perkalian sudah kamu jawab dengan benar." Dan apa reaksinya? mereka manyun sambil ngedumel pelan, tapi cukup bisa tertangkap oleh telingaku: "Bangsat!"

Tidak jarang dari antara mereka yang berkelahi dengan temannya. Dan alhasil, aku yang tidak salah apa-apa jadi terkena tonjokkan nyasar ketika memisahkan perkelahian mereka. Juga aku diingatkan untuk tidak menyakiti hati mereka. Sebab jika kita melakukannya kita akan menjadi sasaran kejahilan, alih-alih ban motor bisa kempes seketika walau tak menginjak paku. "Ampun deh!"


Beneran deh, pusing banget. Yang satu lari-lari di kelas, yang lain malah tidur. Yang satu teriak-teriak, yang lain malah ngegosip ngolor ngidul. Ada yang pulang ngeluyur kaya gedebong pisang, ada yang cium tangan ampe tangan basah oleh seember air liurnya, bahkan ada satu anak bernama Shella yang cium tangan sambil gigit. Untung giginya ompong. Jadi geli-geli enak githu. he..he..he..

Tapi jangan disangka semua adalah duka. Sering aku mentertawakan kenakalan mereka. Sering aku bangga pada beberapa anak yang otaknya cerdas. Sering aku curhat pada beberapa anak yang mulai dewasa. Dan sering aku tertawa bersama ketika dengan gembira bermain monopoli, halma, catur dan ular tangga. Dan Sering mereka bilang: "Makasih yah kak!." Bagiku semua adalah kebahagiaan.


Maka dengan dalam tangis dan tawa, kepada anak-anak jalanan yang menjadi murid-muridku, kuucapkan terima kasih untuk setiap pelajaran berharga yang kalian berikan kepadaku. Maka dalam nyata dan maya, aku berjanji yang terbaiklah yang akan kalian peroleh dariku. Maka dalam kenangan hari kemarin dan harapan hari esok, aku ingin berucap, aku bangga menjadi seorang guru anak jalanan.

4 komentar:

  1. aduh, mulianya hatimu nak, aku juga pengen jadi guru. Tepatnya dosen, liatin mahasiswi cantik sliweran, trus ngajarin mereka, kayaknya keren ya jadi dosen? :)

    BalasHapus
  2. @Arie, kalau jadi dosen jangan liatin cewek2 yang seliweran mulu dong. Ntar di jewer michiru lagi. He..he..

    BalasHapus
  3. @Ajak-ajak aku yaaaaaaaaa ;-)

    BalasHapus