Jumat, November 20, 2009

Berikanlah Aku Penis


Berikanlah aku penis dan segala kelengkapannya, karena aku ingin membuahi sel telur dalam rahim Mel. Aku ingin rahimnya mengandung anak dari benihku, sebab aku ingin memiliki anak yang secantik maminya, namun memiliki mata sipit dan tulang pipiku.

Aku ingin tahu bagaimana rasanya menemani Mel selama ia mengandung anakku. Memberikannya susu, buah, sayur, daging, berbagai vitamin dan makanan yang bergizi demi pertumbuhan janinnya. Dalam perut maminya anakku akan mendapatkan belaian kasih sayang dan kesejukan musik klasik Mozzart. Dalam perut maminya, anakku bertumbuh sempurna.

Aku ingin menemani Mel membeli perlengkapan bayi. Dari mulai tempat tidur dengan kelambunya, batal dan gulingnya, perlak bayi, kain bedong, bak dan perelengkapan mandi, baju bayi, cat tembok warna-warni, kain gendong, botol susu, dot, kaos kaki, sarung tangan, topi dan perlengkapan makan.

Aku ingin mendampingi Mel saat ia gemetar menahan rasa sakit bersalin. Akan kupeluk tubuhnya erat, menyeka keringatnya dan menyemangatinya hingga seorang bayi mungil merobek vaginanya untuk tiba di bumi. Tangis anakku kencang sekencang lonjakkan kegembiraan hatiku. Kupeluk dan kuciumi Mel untuk mengucapkan terima kasih atas semua pengorbanannya. Anakku perempuan, dia cantik, mirip seperti maminya, kulitnya putih, rambutnya sedikit. Aku menghela nafas kelegaan ketika melihat hidung anakku yang mirip dengan hidung maminya. Fiuh! Akhirnya doa yang kupanjatkan siang dan malam agar hidung anakku tidak mirip dengan hidungku, dijawab oleh Tuhan. Tubuh anakku sesempurna tubuh maminya. Setelah dokter selesai membersihkannya, anakku diberikan kepada maminya untuk disusui. Agak perih memang, tapi Mel berusaha menahannya demi buah hati kami. Aku mencium anakku dalam, seakan tidak mau melepaskannya.

Aku ingin tahu bagaimana rasanya menggendong bayi mungil. Anakku menangis pagi, siang, sore dan malam. Entah karena dia ngompol, atau karena ingin menyusu pada maminya. Kami dibuat pusing oleh pekerjaan menyusui dan menganti popok. Pada malam hari, Mel harus bangun dua jam sekali untuk menyusui anakku. Aku siasati dengan memompa air susunya dan menaruhnya di botol. Ah, Mel bisa tidur lebih lama, sebab dua jam berikutnya, akulah yang akan bangun dan memberikan susu yang telah ditampung di botol kepada anakku. Repot memang, tapi aku dan Mel tidak akan pernah lelah, karena anakku adalah buah cinta kasih kami. Kebanggan orangtuanya.

Aku ingin kamarku beraroma minyak telon. Di atas tempat tidurku berserakan bedak, baby oil, cotton bud, tissu, kapas dan botol minyak kayu putih. Aku dan Mel sibuk belajar memandikan bayi. Mel menaruh anakku di dalam sebuah bak yang berisi air hangat, perempuan itu memegang tubuh anakku dan aku yang mengambil tugas menyabuninya, mulai dari badannya yang kemudian beralih ke kepalanya, ups! jangan guyur kepalanya! Cukup basahi dengan handuk, berikan sampoo dan bersihkan dengan hati-hati. Dalam hal memandikan bayi ini, Mel pernah marah besar kepadaku lantaran aku sudah menyiapkan sikat gigi mungil dan pasta gigi rasa jeruk padahal anakku belum bergigi.

Setelah anakku selesai mandi, Mel akan mengangkatnya, membalutnya dengan sebuah handuk besar dan menaruhnya di atas tempat tidur kami. Mel akan mengeringkan tubuh anakku, melumurinya dengan minyak telon, lalu menaburi tubuh anakku dengan bedak, kemudian Mel akan memakaikannya baju berwarna merah jambu. Ah, anakku telah wangi sekarang. Aku menggendong anakku dari tangan maminya. Kuajak dia berjalan ke persawahan untuk menghirup udara pagi. Matanya mendelik, wajahnya berseri. Anakku tahu betapa aku mencintainya.

Selesai jalan-jalan anakku akan menangis karena rindu pada dada maminya. Kemudian gelak tawa akan meledak di rumah kami saat aku dan anakku berbebutan menyusu pada maminya. Tapi aku tidak akan pernah menang melawan anakku, karena Mel akan segera mengusir dan mengetuk kepalaku dengan sendok sayur.

Setelah kenyang menyusu, anakku akan tidur lagi. Dalam lelap anakku, aku dan Mel akan mencuci popok, gurita, kain bedong dan beberapa baju mungil yang kami beli di mall kemarin, lalu menjemurnya di belakang rumah.

Sekarang semua sudah selesai, Mel telah menyiapkan semua keperluan kerjaku. Tapi aku tak mau juga beranjak. Aroma minyak telon, bayi mungil dan seorang mami yang cantik membuatku ingin berdiam diri di rumah. Namun mengingat kewajibanku terhadap Mel dan anak kami, maka dengan langkah berat aku berangkat ke kantor. Sebelumnya, kuciumi anakku yang masih lelap dengan sayang, maminya pun tak luput dari sentuhan bibirku. Kutinggalkan kedua orang yang kucintai dengan berat hati. Baru saja aku melangkah keluar rumah namun aku sudah kangen mereka lagi. Ya Tuhan, betapa sempurnanya hidup ini.

Ah, tapi ternyata aku adalah perempuan yang bervagina dan berbuah dada. Sungguh, aku ingin berpenis agar aku bisa membuahi sel telur dalam rahim Mel. Aku ingin rahimnya mengandung anak dari benihku sebab aku ingin memiliki anak yang secantik maminya, namun memiliki mata sipit dan tulang pipiku.

Berikanlah aku penis...

Kamis, November 12, 2009

Tari Hula-hula


Bagiamana mengatasi partner yang lagi ngambek? Ada banyak cara untuk membujuk partner. Bisa dengan pelukan, bunga, permohonan maaf atau ucapan sayang. Tapi berbeda dengan Mel. Kalau ngambek, perempuan gokil ini hanya mau ditaklukan dengan tarian. Setiap kali ngambek dia akan menyuruh aku menari ala Jacko dengan sentuhan-sentuhan khas di bagian itu loh... atau menari jaipong dengan goyangan dada yang aduhai atau menari hula-hula ala Hawaii dengan pakaian khasnya.

Kenapa mesti menari? Apakah karena De Ni jago menari? Jawabannya adalah justru karena aku tidak bisa menari sama sekali, sehingga dengan otomatis aku akan menghasilkan gerakan-gerakan tari yang kaku, aneh, ancur dan patut untuk diberikan timpukan. Nah ternyata tarian seperti inilah yang diharapkan oleh Mel, tarian yang bisa membangkitkan gelak tawanya. Tarian yang membuatnya terbahak-bahak. Mel terhibur bukan dari bagusnya tarian, namun justru dari amburadulnya tarian itu. Namun bagiku tarian itu adalah ngengat yang siap menggerogoti image dan gambar diriku yang keren, menarik, cool dan berwibawa. Tarian itu hanya akan membuat Om Deni yang macho menjadi seperti banci kaleng yang sedang kehilangan jepit rambut.

Seperti hari itu, saat Mel ngambek gara-gara aku nekat makan setoples kripik singkong, secara selama ini memang Mel mengharamkan aku untuk makan semua jenis gorengan lantaran penyakit radang tenggorokanku yang gampang kumat jika bersentuhan dengan gorengan. Waktu itu Mel marah berat dan meminta aku menari hula-hula. Ayolah sis! Jangan bayangkan aku menari dengan kemeja kerja dan baju tidur. Ini emang gokil, tapi nyata. Mel menyuruh aku menari dengan menggunakan atribut Hawaai yaitu bra, mahkota rumbai dan rok dalam. Kalau mencari bra seh gampang, secara aku sendiri kan punya banyak bra. Kalau mahkota biasanya aku buat dengan menggunakan hiasan pohon natal berbentuk rumbai yang dipotong hingga ukurannya sama dengan lingkaran kepala. Nah yang paling sulit adalah mencari rok dalam. Hm... aku nggak punya rok dalam, maka biasanya aku meminjam rok dalam Mami. Eh sebenernya bukan minjam seh tapi mengambil tanpa seijin pemiliknya. Kenapa aku nggak minta ijin ke mami? Please deh! Ini bukan masalah moral, tapi kalau seandainya mami tanya, "Buat apa?," entah jawaban apa yang bisa kuberi. Jadi pinjam secara diam-diam adalah pilihan paling tepat. Toh cuma sebentar kan?

Oke Beib semua udah lengkap. Ada Om De Ni, ada Bra, ada mahkota dan ada rok dalam. Sekarang tinggal putar musiknya dan saksikan Om menari. Seiring dengan tarian yang aku sajikan, Mel berguling-guling di kasur sambil tertawa tanda bahwa dia menikmati tarianku. Setelah beberapa menit menari tiba-tiba Mel terdiam sejenak. Aku jadi ikutan bengong. Tapi tiba-tiba dia tertawa lebih keras dari sebelumnya. Melihat Mel sangat bahagia, aku melah semakin hot menari. Pertanda baik neh, berarti ngambeknya akan cepat hilang. Namun dalam tawa Mel yang makin keras tiba-tiba aku mendengar samar-samar suara tawa asing yang ikut nimbrung. Aku terdiam, kusadari ada yang tidak beres. Ada audience ilegal yang tiba-tiba masuk ruang pertunjukan tanpa tiket. Ingin rasanya aku segera memanggil security untuk mengamankan ruang pentas. Tapi mana ada security??? Aku pasrah. Aku menengok perlahan untuk mengetahui siapa penonton yang tak bertiket itu. ASTAGA!!! Aku terbelalak bukan kepalang. MAMI??? Si Mami berdiri di belakangku sambil terus memperhatikan rok dalam coklat miliknya. Aku meremas rok itu menahan takut dan malu. Mampus deh, diomelin deh neh, aku pakai rok mami nggak bilang-bilang.

"Maaf tadi belum bilang... Pinjam Mi roknya yha, buat latihan main drama. Hehehehe..."

Si mami terdiam, keringat dingin mengucur. Mami berjalan berkeliling mengitari tubuhku sambil melihat dengan seksama dari ujung rambut hingga jempol kakiku yang seksi. Mel ikut terdiam dan tegang. Aduh gimana ini??? Aku dan Mel saling berpandang, wajah kami sungguh cemas. Suasana kamar hening saat itu. Sampai akhirnya mami berkata-kata,

"Udah lama Den?"

Aku menunduk, "Baru kali ini kok Mi, baru kali ini saya pinjam rok mami nggak bilang-bilang. Beneran deh Mi. Maaf yha Mi..."

"Nggak, mami bukan tanya soal rok. Maksudnya Mami mau tanya, kamu udah lama gila???" Pertanyaan Mami diiringi dengan tawanya yang besar. Mel yang saat itu bengong jadi ikutan tertawa. Kali ini tertawanya lebih besar dari sebelumnya. Ibu dan anak itu duduk di kasur berdampingan sambil tak putusnya menertawakan penari hula-hula, eh penari gila. Emang beneran kayak orang gila apa???

Huh!!! Mereka tertawa, dan tinggallah aku manyun sendiri dengan mahkota, bra dan rok dalam. Siallll betullll....


Kekuatiran terhadap hal-hal buruk hanya akan menekan jiwa yang mestinya gembira...

Sabtu, November 07, 2009

Satu Jam Milik Kita


Waktu adalah penjahat. Dia adalah pencuri ulung dan pelari tercepat. Sebel aku kepadanya. Katanya satu hari berjumlah 24 jam, Halah! Bohong! Dusta! Untukku, waktu hanya memberi 1 jam dalam sehari. Waktu telah merampas 23 jam milikiku yang dihilangkannya entah kemana. Gila!!! Hanya ada 60 menit untuk bisa bercengkrama, bercerita, bercanda, membagi cinta, bercumbuan dan berkelut dalam asmara bersama kekasihku, sebab 23 jam lainnya telah dicuri oleh segudang pekerjaan, kegiatan sosial dan keagamaan, kuliah, belajar dan beristirahat.

Aku benci pada kata-kata "Happy weekend" karena kami tidak pernah mempunyai weekend. Mel kuliah penuh pada hari Sabtu, sedangkan pada hari Minggu gantian akulah yang penuh dengan kegiatan keagamaan dan mengajar anak jalanan. Jadi kapan kami weekend? kapan kami bisa punya hari nyengnyong? jawabku adalah "TIDAK ADA!" Bahkan libur hari raya atau libur nasional pun telah terisi jadwal kegiatan bersosialisasi dengan keluarga, kerabat, teman kerja, teman gereja atau pun teman kuliah.

Meski hidup bersama, namun aku merasa begitu jauh dari kekasihku. Ada banyak kisahku sepanjang hari ini yang belum didengar Mel, demikian juga ada banyak peristiwa dalam harinya yang belum terceritakan kepadaku. Kami jadi tak peka untuk membaca bahasa rindu, amarah, lelah dan gelisah.

Kadang kami hanya saling memandang tanpa kata, tubuh saling memeluk seakan ingin menyampaikan semua hal yang tak terceritakan. Kutangkap bahasa cintanya, namun tetap aku butuh waktu untuk berbicara banyak hal kepadanya. Aku ingin menceritakan tentang awan biru di pagi hari, tentang boss yang sedang sakit flu, tentang Tommy yang lupa menutup sereting celananya, tentang OB yang isterinya melahirkan, tentang HP-ku yang rusak, tentang pengendara motor yang hampir saja menabrak anak kecil, tentang anak-anak kecil yang giginya ompong namun tak berhenti tersenyum kepadaku, tentang hujan gerimis di sore hari, tentang dosen yang baru saja operasi gigi, tentang harga buku kuliah yang mahal, tentang tugas kuliah yang numpuk, tentang sahabat L yang baru saja jadian, tentang beberapa tulisan di Sepoci Kopi, tentang tetangga yang mau pinjam uang, tentang tanaman mawar kesayangan yang layu, tentang rice cooker yang rusak, tentang soup jagung yang kurang garam, tentang sabun cuci yang sudah habis, tentang tikus yang masuk ke dalam botol minyak, tentang ayam tetangga yang suka buang kotoran sembarangan, tentang camilan tempe yang enak, tentang deodoran yang sudah harus dibeli atau tentang sepatu yang sudah harus diganti. Banyak sekali kisah-kisah sederhana yang ingin aku sampaikan, namun semua ditelan oleh keangkuhan waktu.

Untungnya, aku dan Mel tidak pernah menyesali kehidupan yang kami jalani. Mungkin tak banyak kata terucap, tak banyak kisah terungkap, tapi ada banyak cinta yang membuat satu jam itu menjadi begitu berarti.