
Siang itu aku ngantuk berat akibat kurang tidur. Selasa malam Mel sakit, jadi aku manja-manjain dia sampai larut malam. Kantor juga sepi banget, semua karyawan pada asik dengan komputernya masing-masing. Kecuali Tommy, temen kantorku yang paling gendut. Sudah beberapa kali lelaki itu bolak-balik ke ruanganku resah. "Aduh Den laper neh gue. Ada apa nggak gitu? biasanya lo bawa makanan."
"Mel lagi sakit, jadi hari ini gue nggak bawa makanan apa-apa. Lagian elo mah, asal dapat kerjaan dikit langsung lapar. Udah kelarin noh tumpukan uangnya. Ntar gue rampok loh!"
Tommy balik ke ruangannya lemas, nggak lama dia teriak, "Den, gue mau pesan Indomie. Lo mau nggak?"
"Gue lagi puasa. Hahahahaha."
"Ajegile lo puasa. Serius neh, kalau mau gue bayarin tapi nggak pake telor yha. Mahal!!!"
"Idiiiih dasar medit. Nggak ah..."
Tommy lanjut menyelesaikan tugasnya menaruh tumpukan uang ke beberapa amplof untuk dibagikan kepada para penulis jurnal. Nggak lama seorang perempuan datang dengan semangkuk mie goreng. Dan seperti biasa, Tommy langsung ngomel, "Kok lama banget seh Mbak? Saya udah laper neh! Kalau saya kurus gimana? Loh Kok nggak pake bawang goreng?"
"Ini bukannya saya udah kasih bawang goreng mas?"
"Iya kok dikit?"
"Dikit bukan berarti nggak ada kan?"
"Iya iya, bisa ditambah nggak bawang gorengnya?"
"Ya udah mangkoknya saya bawa lagi yha."
"Yaaaaaah. Udah deh nggak usah, saya udah laper."
Perempuan itu langsung pergi, kayaknya dia jengkel banget sama ulah si Tommy. Melewati ruanganku, perempuan itu sempet melirik dan bergumam pelan, "Bawel" sambil nunjuk ruangan si Tommy.
Aku nyahut pelan, "Embeeeerrr."
Baru saja perempuan itu berlalu, tiba-tiba ruang kerjaku terguncang. Awalnya aku kira itu ulah Tommy yang kebetulan emang sering loncat kesana kemari. Tapi ternyata guncangannya makin hebat. Si Tommy yang emang orangnya suka rada lebay, langsung teriak ke sekenceng-kencengnya, "TOLOOOOOOOONG!!! GEMPA!!! SEMBUNYI DI KOLONG MEJA!!!" Aku jadi ikutan panik dan pengen ikut sembunyi di kolong meja, tapi karena ruanganku berantakan dan amburadul, kolong mejaku penuh sesak dengan tumpukan dus, jadi hanya kepalaku aja yang bisa masuk ke kolong meja.
Si Tommy yang ngusulin sembunyi di bawah kolong meja malah kabur duluan. Sebelum turun dia sempet-sempetnya teriak, "DEN KALAU CUMA KEPALA LO DOANG YANG MASUK KOLONG MEJA, LO BISA TETEP MATI. DASAR OON. TURUNNNN TURUN SEMUAAAAA." (Hikh dasar congor lo Tom!!! Seluruh kantor jadi tahu deh kalau panik aku suka jadi OON).
Semua kacau deh, kak Santi salah satu teman kantorku jadi ikutan panik, dia langsung teriak "TAS MASUKIN KE DOMPET!!! TAS MASUKIN KE DOMPET." Padahal kan yang benar "Dompet masukin ke tas" Hehehehehe.
Pokoknya orang sekantor pada panik dan ngelakuin hal-hal yang nggak jelas. Mereka berebutan turun tangga. Aku juga ikutan lari, yang aku bawa saat itu hanya HP, secara yang ada di otakku cuma pengen menelepon Mel, keluarga dan temen-temen. Aku pusing dan limbung sampe-sampe nyusruk ke tembok.
Pas mau turun tangga aku baru sadar kalau aku mesti balik untuk mengambil tas secara banyak dokumen penting dalam tas itu. So, dengan tertatih Aku balik lagi ke ruanganku. Sesampainya kembali di ruangan, gempa sudah mulai reda, meski masih ada sedikit getaran. Tapi aku tetep kekeh mau turun karena takut ada gempa susulan. Pas mau turun lagi, niat itu aku batalkan saat melihat Mbak Tina, teman sekantorku yang lagi hamil tua cuma duduk diam sambil nangis. Aku menghampirinya, "Tenang Mbak. Jangan nangis. Ayo kita turun."
"Kaki Mbak lemas Den. Nggak bisa jalan."
"Ya udah ke ruanganku aja, di sini banyak kaca. Ngerri."
Aku menuntun Mbak Tina pelan. Aduh jujur aku pengen banget keluar dari gedung ini, tapi nggak mungkin aku tinggalin Mbak Tina sendirian. Aku tegang, meski akhirnya aku bisa menarik nafas panjang saat mendengar anak-anak disain masih kasak kusuk di ruangannya, berarti kami nggak sendiri. "Gedung ini kuat nahan gempa nggak seh?" Aku teriak kepada anak-anak disain.
"Tenang Den, ada Tuhan Yesus. Imannuel, Tuhan beserta kita."
Aku jadi tambah lega meski perutku terasa mual sekali. Kuambilkan segelas air hangat untuk mbak Tina. Aku langsung menelepon Mel dan memastikan dia baik-baik saja, memberi tahu teman chatku tentang terjadinya gempa ini. Lalu menghubungi Jo untuk memastikan dia juga dalam keadaan baik.
Mbak Tina masih gemetaran saat deringan HP berbunyi dari ruangan Tommy. Kulongok ruangnya. Semua barang-barangnya masih lengkap di mejanya. HP, laptop, tas, meski puluhan lembar uang seratus ribuan bercecer di lantai. Entah uang-uang itu tercecer karena gempa atau karena kepanikan Tommy yang akhirnya membuat dia nabrak sana sini.
"Si Tommy sakin paniknya keluar nggak bawa apa-apa loh mbak. Aku jadi malu sama dia. Aku masih bawa barang tadi."
Mbak Tina tersenyum. Aku melongok ke jendela. Di parkiran kulihat puluhan teman-temanku beserta para boss sudah berkumpul di sana. Tak sulit untuk menemukan Tommy yang tambun di antara kumpulan orang. Astaga... Si Tommy itu malu-maluin deh!!! Untung nggak ada stasiun TV yang meliput kantor kami saat kejadian gempa itu. Kalau ampe ada yang meliput, bisa rusak image kantorku di hadapan seantero Indonesia.
"Mbak Tina, liat deh apa yang diselamatkan si Tommy."
Mbak Tina ikut ngelongok ke jendela. Sepontan kami tertawa terbahak-bahak. Ayo tebak, apa yang Tommy selamatkan? Si Tommy itu hanya menyelamatkan semangkok mie goreng yang barusan dia pesan. Yang lebih geblek lagi, di parkiran dia malah mondar mandir kebingungan sambil terus menyuap mie ke dalam mulutnya sampai mienya habis.
"Tommy emang rada-rada kali yha mbak, orang panik gini dia masih sempet-sempetnya ngabisin mie."
"Otaknya nggak jauh-jauh dari makan. Hahhahaha" kami ketawa lagi
"Sekarang masih lemes Mbak?"
"Nggak. Thanks yha Den. Tuhan emang baik, Dia kirim Tommy untuk bikin kita jadi nggak tegang lagi. Heheheheh. O iya Den, tadi pas turun kamu bawa apa?"
"HP, kenapa Mbak?"
"Hm... Saat panik orang akan membawa hal yang dianggapnya sangat penting. Dan menurut Mbak, yang terpenting dalam hidupmu adalah keluarga dan sahabat, makanya kamu bawa HP untuk hubungi mereka. Betul nggak?"
"Amin."
Aku kembali menatap keluar jendela. Si Tommy masih nenteng mangkok mie kesana kemari sambil mewawancarai beberapa orang. Aku menarik nafas panjang... Semoga semua keluarga, teman dan sahabatku dalam keadaaan baik.