Kamis, Desember 10, 2009

Tentang Ana


Ana namanya, sepupuku yang telah tinggal bersama keluarga kami sejak aku berusia 2 tahun. Perempuan itu sangat baik, penurut dan penyayang, meskipun agak kurang dalam intelektual. Bundaku pernah menyekolahkannya, namun dia menyerah di kelas 6 SD. Walau bisa membaca dan menulis dengan baik, tapi untuk berpikir abstrak, mengambil keputusan logis, sintesis dan analisis layaknya orang seusianya, ia tidak mampu.

Masa kecilku kuhabiskan bersamanya. Meski usianya terpaut 9 tahun dariku, tapi aku membalap tahap perekembangannya. Dulu, kami sering main lompat tali, petak-umpet, galaksin, masak-masakan, membentuk alat-alat rumah tangga dari tanah liat, meniup terompet pada malam tahun baru, memancing ikan di comberan, memanjat pohon cerry, dan bersepedah keliling komplek. Kami tumbuh bersama dalam asuhan dan kasih sayang bundaku.

Saat aku dan abang beranjak dewasa. Aku dan abang mulai sibuk dengan sekolah, berbagai les, kegiatan rohani dan organisasi, berlanjut dengan kuliah yang membuat aku hanya bisa kembali kerumah tiap akhir pekan, dan kemudian terjun ke dunia kerja yang tak kalah menyita waktu. Ana merasa kesepian pada masa-masa itu. Dan pada masa yang panjang itulah, bundaku menjadi satu-satunya teman dalam hidupnya. Ia menjadi begitu karib dengan bunda. Bersama bunda dia menghabiskan waktunya untuk belanja ke pasar, memasak, nonton TV, berdoa, bergereja, bahkan pergi ke taman rekreasi. Ke mana pun bunda pergi, dia selalu ada di sana dan apa pun yang bunda lakukan, ia akan lakukan juga.

Saat bunda divonis kanker payudara stadium 3b. Simpati orang semua tertuju kepada ayah, kakak, abang dan aku. Hanya kami berempat yang mendapat jabat hangat, pelukan, nasehat, dan kekutan dari orang-orang di sekeliling kami. Saat itu kami alpa pada seseorang, seseorang yang sebenarnya adalah orang yang paling terluka, orang yang paling takut kehilangan bunda, orang yang menjadikan bunda sebagai orang terpenting dalam hidupnya, dia adalah Ana...

Menjelang hari kematiannya, bunda tak berhenti memanggil nama Ana sebagai tanda betapa berat ia meninggalkan Ana. Mungkin dalam hatinya, bundaku selalu bertanya, apa jadinya Ana tanpanya? Siapa yang akan memperhatikannya? Siapa yang akan menerima segala kekurangannya?

Ah... kami benar-benar alpa. Saat bunda meninggal, kami menangis sejadi-jadinya, menganggap diri kami adalah manusia yang paling menderita. Semua orang menghampiri kami sekedar memberi kekuatan, tapi tak ada satu pun orang yang menghampiri Ana, perempuan yang memilih menangis sendiri di sudut dapur.

Satu bulan setelah kematian bunda, Ana pamit dan memilih tinggal bersama kakaknya. Sungguh berat aku untuk melepasnya, dia sudah begitu melekat di hatiku, 21 tahun hidup bersama bukanlah suatu masa yang singkat untuk mengikat kasih yang erat. Tapi ada banyak alasan yang memaksa aku melepasnya. Salah satunya adalah karena kesibukan kami bekerja. Sepanjang hari Ana hanya sendirian di rumah, ia kesepian. Berbeda dengan rumah kakaknya yang begitu ramai dan banyak anak kecil.

Kulepas kakak perempuanku itu dengan pecah tangis. Tiap waktu aku menjenguknya, jarang sekali aku bisa berjumpa dengannya. Entah karena dia sudah lelap tidur, atau karena dia sedang pergi ke rumah saudaranya yang lain, atau karena dia sedang bergereja. Jadi, hanya dari kata oranglah, aku tahu bahwa Ana baik-baik saja.

Kemarin aku mendapat kabar bahwa Ana terkena TBC dan gizi buruk. Hatiku sangat sakit mendengarnya. Bagaimana mungkin ia terkena gizi buruk? secara kakaknya adalah orang yang sangat menyayanginya dan hidup berkecukupan. Belum lagi ada donasi yang diberikan oleh keluarga kami.

Barusan aku menjumpainya. Memang benar tubuhnya begitu kurus. Ya, hanya tulang yang berbalut kulit. Beratnya yang dulu 46kg kini menjadi 25kg. Aku tertegun, saat mengetahui penyebab penyakitnya. Penyebabnya adalah karena bundaku. Ia sangat menyayangi bunda, sehingga ia mengalami pukulan yang sangat berat saat ibuku meninggal. Ia sudah tak memiliki keinginan untuk hidup. Ia tidak mau menyentuh makanan kalau tidak dipaksa dan diomeli.

Astaga! Betapa nistanya kami, orang-orang yang menyebut diri sebagai anak-anak dan suami dari bundaku. Orang yang menyebut diri sebagai orang-orang yang paling menderita atas kematian bunda. Hari ini aku sadar bahwa ada seseorang yang lebih nyeri merasakan penderitaan atas kematian bunda. Ya, dia... Dia yang tak lagi memiliki semangat hidup, dia yang ingin mati bersama dengan kematian bundaku. Hidup yang dihidupinya hanya karena paksaan orang yang memaksanya untuk hidup.

Ah... aku menangis Bunda...
Menangis saat melihatnya...
Juga saat aku menulis blog ini...

Hari ini hatiku terenyuh. Sakit sekali rasanya Bunda...
Betapa berartinya dirimu bagi kami.
Begitu melekatnya kasihmu dalam hati kami.
Begitu meradangnya luka kehilanganmu.

Tepatkah Tuhan memanggilmu hari itu???
Ataukah Dia salah mengambil kebijakan?
Mestinya Tuhan mengijinkanmu hidup bertahun-tahun lagi, untuk kami...


Tapi... Ah, masa Tuhan salah???

16 komentar:

  1. poor girl..
    kebayang gak sih
    gak pnya temen buat sharing at all
    gak ada yg ngertiin kita
    biarpun sodara ya
    kalo dah berkeluarga kan dah bnyk urusan
    apalagi Ana bth perhatian 'lebih'

    tweet-tweet

    BalasHapus
  2. Rasa kehilangan adalah sesuatu yang paling aku takutkan ketika tanganku terbuka atas kehadiran setiap orang dikehidupanku.
    Aku bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Ana. Karena aku pernah mengalami perihnya rasa kehilangan itu.

    Semoga Tuhan memberikan yang terbaik atas hidup Ana saat ini. Tuhan besertanya selalu. Amien.

    BalasHapus
  3. De Ni,... sukses bikin gw nangis-nangis di kantor, hiks hiks

    BalasHapus
  4. @Tweet-tweet, iya.. bantu doa yha...

    @Ning, :(( :((

    @Babby, amin...

    @ Ligx, hikhs hikhs

    BalasHapus
  5. @babby,sist..
    kalo kata2ku ada yg salah sorry ya
    beneran gak bermaksud apa-apa
    tweet-tweet

    BalasHapus
  6. Makasih ya, tulisan ini dah ngingetin gw buat ngasih perhatian lebih ke org2 yg akhir2 ini jarang ketemu

    BalasHapus
  7. semoga anak lekas ceria ky dlu lg.. amin.

    BalasHapus
  8. Sist tweet-tweet, kata-katamu nggak ada yang salah kok Sist. Kok bisa mikir seperti itu. Aku senang bisa seru-seru'an, bercanda, dengan Sist. Jadi Sist jangan berfikiran seperti itu lagi ya. Sist tweet-tweet nggak pernah buat salah sama aku. Percaya itu yah? Hehehehehe. Maaf baru balas comment Sist, aku baru aja selesai ulangan, jadinya jarang buka-buk blog akhir-akhir ini. Hehehehe.

    BalasHapus
  9. waah sedihnya ... tapi Tuhan nga pernah salah .. segala sesuat indah di dalamNya .. mungkin untuk sekarang kita nga ngerti apa maksudnya Tuhan, sampai terkadang buat kita nangis tapi suatu saat kan kau lihat pelangi kasihNya ... tetap kuat .. Doaku buat Ana ..

    BalasHapus
  10. @ Ri, sama2 Rie. Doakan yha!!!
    @ Gy, semoga... amin
    @ Putri, Amin. Thanks ya putri...

    BalasHapus
  11. Oh my... So she's the one... ohh... *ampe speechless :'( :'( :'(

    BalasHapus
  12. @babby,gitu toh..
    gmn ekspetasinya neh?hehe
    kmaren tuh pas aq blg kmu msh nempel ama nyokap
    kukira kau tersinggung dek..
    oke deh mari seru2an lg n bikin rusuh blog yg kita kunjungi wkwkwk
    tweet-tweet

    BalasHapus
  13. Kak De Ni kok sepi-sepi aja yaaaa. Nona-nona rumahnya lagi sibuk yaa? Hehehe. Kangen rusuh-rusuhan.

    @tweet-tweet, tersinggung? Wah kalau aku gampang tersinggung dah dari dulu kali ya aku bunuh diri. Hahahahaha. Secara punya kawan doyan nyeplos semua. Hehehe. Tapi, lebih asyik begitu. Jadi nggak pasang topeng munafik mulu. Hehehe.
    Ayo-ayo... seru-seruan Sist. Secara masih muda, masih doyan sama yang rusuh-rusuh. Hehehehe. Jadi, kapan nih?

    BalasHapus
  14. @babby, iya neh sepi amat ya?
    maklum deh orang sibuk semua..
    kapan ya rusuh2annya..?
    *kata yg punya blog "woooii!!! chating aje nape lo bedua??jgn ngerepotin gw mulu..!"
    wkwkwkwk

    tweet-tweet

    BalasHapus