Senin, Agustus 24, 2009

Abang dan Ramadhan


Bulan Ramadhan adalah bulan sejuta warna. Kampung menjadi berubah nuansa dalam sekejap. Dalam keteduhan pagi, para pemuda sudah berbaik hati membunyikan kelontongan untuk membangunkan sahur. Aku suka pada segerombolan pemuda yang lewat dengan ember atau galon yang dipukul bersahutan. Sambil teriak, "Sahur, sahur... sahur sahur..."

Saat gerombolan melewati depan rumahku, aku dan Mel segera keluar rumah untuk menyaksikan mereka. Mereka berhenti sejenak saat melihat kami.
"Kak Den, mau ikutan puasa ya? Jam segini sudah bangun."
"Nggak ikutan puasa kok. Cuma mau ikutan sahur. Hehehehehe."

Mereka berlalu, setelah menerima sekotak kue pia dari kami. Suara ramai berubah menjadi sayup. Rumah kami kembali hening. Aku jadi teringat abangku. Lelaki yang seayah dan seibu denganku, pasti sekarang ia sedang mempersiapkan menu sahurnya. Dulu di pagi buta bulan Ramadhan biasanya aku, abang dan ibu selalu gaduh di dapur mempersiapkan menu sahur buat abang. Ibu memasak ini itu, abang membuat susu dan aku sibuk mencicipi makanan buatan ibu dan susu bikinan abang. Kenangan itu membuatku segera menelepon abang.
"Halo, lagi apa lo?"
"Hahahaha, cewek geblek tumben lo bangun pagi. Gue lagi masak buat sahur."
"Sahur pakai apa?"
"Ini cuma goreng nugget doang, susah seh nggak ada mama."
"iya lo kebiasaan dimanja mama seh. Makanya cepet kawin Ko."
"Emang lo kira nyari bini gampang? Cariin dong yang cakep dan baik kayak bini lo."
"Hahhahaha, dia mah stoknya dah abis. Dah nggak diproduksi lagi."
"Hahahaha."
"Oke deh Ko. Yang lancar ya puasanya. Jangan marah-marah dan tepe-tepe melulu."
"Oke oke boss."

Si abang mengingatkanku pada tiga Ramadhan silam saat di hadapan semua keluarga dia dengan yakin mengatakan, "Saya sudah jadi muslim." Saat itu seisi keluarga terkejut. Tapi tidak ada yang marah, tidak ada yang menghakimi, dan tidak ada yang menuduh. Kami semua hanya diam hingga suaraku memecahkan kesunyian, "Nggak apa-apa ko, yang penting jalanin aja baik-baik."

Ayahku juga ikut menimpali, "Iya jadi umat beragama yang baik." Ibuku yang sedari tadi diam jadi ikut angkat bicara, "Berarti besok kamu puasa ya? Mama mesti bangun pagi nih. Padahal rencananya besok mama mau bangun jam 11 siang. Hahahahahha."

Kami sekeluarga tertawa. Sejak saat itu kami hidup dalam perbedaan keyakinan dengan saling menghormati satu sama lain. Tanpa sinis, marah, benci atau kecewa. Entah apa yang dipikirkan ayah dan ibuku? tapi aku yakin bahwa mereka memiliki pemikiran yang sama denganku, yaitu bahwa semua orang berhak untuk menentukan jalan hidupnya masing-masing, asal tetap berjalan dalam kebenaran, asal jangan menjadi sampah masyarakat, asal jangan merugikan orang lain.

Dan ternyata si abang pun punya pemikiran yang sama. Seperti saat aku berhadapan dengan abangku dan berkata, "Aku dan Mel pacaran.", maka ia menjawabku dengan jawaban yang senada, "Emang kenapa? Nggak apa-apa kok. Jalanin aja baik-baik."

6 komentar:

  1. Keluarga yg keren
    -Nico-

    BalasHapus
  2. nice story den...semoga abangmu menikmati ramadhan dengan penuh berkah dan selalu dalam rakhmat dan ridhoNya :)

    BalasHapus
  3. WOW....
    Semoga abangmu cepet didatangkan jodohnya
    biar ga mupeng liat De Ni dan Mel hihihihi

    BalasHapus
  4. Semoga ibadah puasanya diterima oleh Allah SWT...

    Keluarga yang indah yah...Hehe..

    BalasHapus
  5. wow..
    keluarga yang bijak..
    aq senang dengan pemikiran seperti itu karena jarang banget ada keluarga yang mempunyai pikiran seperti itu..

    BalasHapus
  6. @ Nico, Thanks Nico, Pa kabar ney?
    @ Arinie, amin, makasih yha mbak
    @ Jill, Hahahahaha, bantuin cari dunk
    @ Babby, Amin amin Thanks yha adikku
    @ Ephiey, Thanks. Sebenernya pemikiran itu ditanamkan oleh mamaku yang emang orangnya empati banget

    BalasHapus